Selasa, 04 Agustus 2020

Reminder: Buat Apa Sekolah?

Bismillah

Baru kali ini terasa punya urgensi untuk menulis di blog. Kadang ada kata² yang ingin kita sampaikan pada keluarga, pada teman, atau rekan kerja tidak kesampaian karena suatu hal, biarkan tulisan ini dibaca oleh dunia..

Hampir 1 dekade yang lalu aku mengkritisi dunia sekolah yang tak punya arah. Bukan, bukannya tak punya arah, tapi arahnya tak lengkap. Betapa banyak guru² yang mencourage murid²nya untuk belajar dengan sungguh² agar nilainya bagus? Betapa banyak guru² yang mencourage murid²nya untuk belajar yang tekun agar bisa tembus di kuliah ternama? Apa kelanjutannya? Dapat posisi kerja yang nyaman yang ujungnya penghasilan yang besar. Sudah, berhenti di situ. Lalu apa yang menjadi masalah?

Aku tidak pernah mendengar dari satu guru pun yang mencourage murid²nya menjadi orang yang bermanfaat atau menjadi orang yang mampu memperbaiki lingkungannya. Paling mentok di "semoga ilmunya barakah" itu pun jarang sekali. Itulah yang kukritisi. Jika ada orang yang menmengatakan "apa masalahnya dengan mendapat penghasilan yang besar? Bukankah dengan dengan penghasilan yang lebih besar mereka bisa membantu lebih banyak?" Terkait hasil akhirnya bisa jadi seperti itu. Yang jadi masalah adalah menuju ke arah kebermanfaatan yang nyaris tidak terdengar di bangku sekolah. Apakah dengan penghasilan itu orang² dengan mudah membantu orang lain? Menyumbang proyek reforestasi hutan yang terus dirusak? Atau mendonasikannya ke pemberdayaan daerah² tertinggal? Itu masalah pertama.

Masalah kedua adalah pemborosan umur dalam sekolah. Coba kita lihat mereka yang pergi ke sekolah. Apa yang mereka lakukan? Yap, mereka belajar dari buku atau menyimak penjelasan dari guru. Itu pun untuk sekolah² favorit, itu pun cuma sebagian. Sisanya ngapain? Okelah coba kita bahas mereka yang sungguh² belajar. Coba tanyakan pada mereka yang sudah lulus 4 tahun yang lalu soal² ujian yang pernah mereka kerjakan sendiri. Apakah mereka bisa? Pasti banyak yang lupa. Itulah masalahnya. Mereka mempelajari banyak hal yang tidak semuanya diteruskan di bangku kuliah. Itu masih kuliah. Coba tanyakan lagi di medan kerja, beda lagi jawabannya. Apalagi masalah kebermanfaatan, bingung gimana cara menerapkan ilmu² yang ada di bangku sekolah ke kehidupan sehari². Lalu apa yang mereka pelajari selama ini? Bukankah itu pemborosan umur? Hal ini sempat menjadi guyonan Deddy Corbusier, "coba guru² di sekolah diminta mengerjakan soal² dari guru lain, apa bisa? Terus kenapa murid diminta bisa mengerjakan soal² dari semua guru?"

Kalau ada orang yang bilang, "orang yang sekolah tentu cara berpikirnya beda dengan orang yang tidak sekolah." Secara umum pernyataan itu benar, tapi yang perlu diluruskan adalah belajar bisa dimana saja bukan? Belajar bisa dengan siapa saja bukan? Apakah belajar harus di sekolah? Nyatanya aku sendiri bertemu dengan orang² yang tidak selesai di bangku sekolah tapi jadi orang besar. Sebut saja Bu Susi yang menjadi menteri, apakah tidak sekolah lantas beliau tidak belajar? Ada juga Pak Iskandar pemilik resto Bumi, apakah tidak lulus SD lantas beliau tidak belajar?

Orientasi sekolah (belajar) inilah yang jadi kritikku. Niatnya belajar itu buat apa? Apa belajar karena hal yang pasti nyambung dengan kehidupan sehingga bermanfaat, apa belajar biar bisa menguasai ilmu terus bingung mau dibuat apa, apa sebatas mencari nilai rapor, atau justru entah ngapain pokok ngehabisin waktu sekolah? Na'udzubillah..

Minggu, 24 Mei 2020

Ramadan Kali Ini dengan Kali Lalu

Bismillah,

Ada beberapa perbedaan Ramadan yang aku jalani saat ini dengan Ramadan sebelumnya.

Tahun: jelas beda lah ya

Musim: tahun sebelumnya rata-rata kemarau. Sekarang mirip sih, tapi di 10 Ramadan terakhir kali ini banyak mendungnya (bikin khawatir)*

Suhu: tahun sebelumnya suhu di beberapa hari Ramadan terakhir sempat 21. Ramadan tahun ini nggak pernah lihat suhu, hehe. Sepertinya nggak sampai 23 sih.

Kondisi: tahun kemarin dunia baik-baik saja. Tahun ini negara api menyerang (wabah covid-19), jadinya nggak bisa keluyuran.

Kota: 7 hari pertama tahun kemarin di Purwakarta dan Depok, sisanya di Surabaya, beberapa hari terakhir sempat di Sragen-Jogja. Sekarang full di Denpasar. Eh, ngapain di Denpasar?

Lokasi: tahun kemarin itu di rumah, di masjid, di kantor, di kereta, di bis, di rumah teman, di kutab, di markas startupnya Pak Iqbal. Tahun ini full di kosan, kadang keluar beli makanan dan bahan makanan sih. Eh, di kosan? Sejak kapan ngekos? Eh, nggak ding. Sempat beberapa hari opname di RS gara² trombosit di bawah 100 ribu.

Tarawih: tahun kemarin kadang habis isya, kadang habis meeting di kantor. 10 malam terakhir full di masjid sih, ikut qiyamul lail. Sekarang full di kosan. Kadang habis isya, kadang habis tidur malam. 10 malam terakhir dipecah sih, separuh habis isya, sisanya habis bangun tidur.

Buka bareng: tahun kemarin bareng keluarga, bareng temen kuliah, bareng temen kantor, bareng jamaah masjid yang lain. Alhamdulillah, tahun ini bareng istri. Eh, sejak kapan nikah? Sejak sebelum negara api menyerang, hehe.

Sebenarnya ada banyak hal lain yang membedakan Ramadan tahun ini sama tahun sebelumnya. Tapi nggak kutulis karena aku nggak ingat betul bedanya apa saja.

Jelasnya, saat ini wabah covid-19 sedang menyerang dunia berbagai belahan. Banyak kegiatan karena takut terserang jadi harus dihentikan. Bahkan untuk beribadah di masjid pun harus ditiadakan. 

Suasananya jarang pernah terbayang. Dunia mencekam karena nyawa mudah melayang. Sisa kamar rumah sakit menipis dan kantong darah pun habis. Stok makanan harus dibuang karena distribusinya terhadang. Otomatis, kedepannya kemungkinan akan ada krisis pangan kalau tanpa ada tindakan. Tapi semua ini tentu ada hikmahnya kalau kita mau merenungi nikmat-nikmatNya. Apa saja hikmahnya?

1. Alhamdulillah, bersyukur harus lebih banyak karena masih diberi kesempatan menghirup udara secara layak. Sementara sebagian saudara kita harus tinggal di rumah sakit yang sesak, tanpa saudara tanpa sanak.

2. Alhamdulillah, covid-19 memang membuat banyak kegiatan jadi libur. Artinya keluarga bisa semakin rekat dan melebur. Dulu sering sendiri dalam tidur, sekarang tiap malam bisa sekasur.

3. Alhamdulillah, wabah memang membuat kantor berpindah ke rumah. Jadinya waktu luang semakin melimpah. Waktunya kembali belajar dan berberbenah. Belajar bahasa Al Quran yang penuh hikmah.

4. Alhamdulillah, sedih dan haru rasanya. Karena berpisah dengan Ramadan yang mulia. Semoga amal kebaikan kita semua diterima, dan mendapat ampunan dari Allah yang tiada duanya.

تقبل الله منا و منكم صيامنا و صيامكم

Selamat Hari Raya Idulfitri 1441 H

Luqman sekeluarga di seberang timur Jawa




Selasa, 04 Juni 2019

Menanam Tanaman Buat Apa?

Bismillah

Saat bertemu kawan lama beberapa hari yang lalu, ada satu pertanyaan yang membuatku terusik.

"Menanam (tanaman) itu buat apa?"

===

Saat ini -bisa dikatakan- manusia memasuki zaman yang belum pernah dicapai makhluk lain: zaman teknologi digital. Alat yang memudahkan kehidupan manusia bernama teknologi ini semakin lama semakin kecil dan praktis. Sebut saja penyampaian berita yang dahulu memerlukan waktu beberapa bulan untuk mengabarkan kehebohan"negara itu terkena wabah". Itupun hanya didengar oleh segelintir orang. Kini, berita heboh bisa segera diketahui banyak orang yang kita tak perlu heran dengannya. Inilah masalahnya.

Aku lupa darimana mendapatkan kalimat ini: "Dahulu informasi disimpan begitu ketat supaya penguasa tetap berkuasa. Kini informasi dialirkan begitu deras bahkan dicampur dengan informasi palsu ataupun multitafsir agar terjadi perdebatan di masyarakat sehingga masyarakat tidak sempat membahas hal yang lebih prinsip."

Begitulah teknologi. Teknologi memang menjadi alat yang memudahkan kehidupan manusia. Hanya saja teknologi belum tentu membuat manusia lebih bijak, menyadari ada sesuatu yang tidak beres di luar sana. Sebut saja soal FreeP*rt. Perusahan eksploitatif ini mengeruk jutaan (bahkan miliaran) ton tanah berisikan emas keluar ke negara lain. Apa yang didapat di negeri sendiri? Bagi hasil memang ada, tetapi jumlahnya terlampau kecil. Selain itu menyisakan perselisihan antar masyarakat dan kerusakan lingkungan. Eh, darimana tahu tambang itu membuat perselisihan antar masyarakat dan kerusakan lingkungan?

-dari internet-

Dulu berawal dari nonton film "Blood Diamond" pas SD. Tapi berhubung jam tayang Bioskop Tr*ns TV cukup malam, aku nggak bisa nonton penuh -disuruh tidur. Sewaktu SMA, alhamdulillah sekolahku punya akses internet wifi. Waktu itu aku belum punya laptop sih, tapi cukup dekat dengan orang labkom. Tinggal masuk ke labkom deh.

Buat yang belum tahu apa isi film itu, silahkan tonton sendiri (lol). Film itu menceritakan seorang jurnalis yang mencari tau lebih dalam apa yang terjadi di balik konflik berkepanjangan di salah satu negara di Afrika. Setelah menonton film itu, aku menelusuri kebenaran kisah yang ada di film itu. Hasilnya, kisah itu bisa jadi kisah fiksi, tapi informasi yang dibawa dalam cerita sangat menggambarkan kondisi perang saudara di negara-negara Afrika karena adanya kekuatan asing yang ingin mengambil sumberdaya alam berupa batu permata. Negara dibuat korupsi, masyarakat dipersenjatai untuk memberontak, negara dipersenjatai untuk melawan pemberontak. Kedua kelompok harus menyerahkan batu permata untuk ditukar dengan senjata.

Mengerikan bukan? Rasa penasaranku akan kisah tersebut tidak berhenti sampai di Afrika. Tiba-tiba terbesit, "Bagaimana dengan Indonesia?" Silahkan cari "Alkinemokiye".

===

"Menanam (tanaman) itu buat apa?"

Sayang sekali saat itu aku menjawab dengan argumen yang sangat lemah. "Aku memang suka tanaman."

Spontan ia tertawa dan membalas, "Adalah hal aneh saat ini, anak muda suka tanaman."

Balasan itu membuatku termenung sambil tersenyum miris. Beruntung ada yang mengalihkan pembicaraan sehingga saat itu seolah tak terjadi apa-apa. Namun saat itu ada kicauan kilat dalam hati. Dari percakapan singkat dan profesinya, aku tak mungkin menuduhnya macam-macam karena ia seorang yang cukup paham mendalam perkara agama. Jalan pikiran seperti apa sehingga pertanyaan dan pernyataan itu muncul?

Aku menyimpulkan bahwa ia orang yang terlampau baik. Ia membatasi dirinya untuk hanya membuka saluran informasi-informasi yang baik. Aku hanya bisa memakluminya, mungkin ia tak se-kepo diriku sehingga kami punya pandangan yang berbeda dalam memandang tanaman. Lalu, sebenarnya menanam (tanaman) itu buat apa?

===

Indonesia negara agraris. Sering dengar istilah itu kan? Waktu SD kita diberitahu guru-guru kita dengan slogan-slogan yang indah. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo, subur tanpo tinandur, murah tanpo tinuku, Indonesia zamrud khatulistiwa, dan masih banyak lagi. Pernah dengar kalimat-kalimat itu kan?

Memang benar, kita adalah negri yang dianugerahi puluhan (atau ribuan?) gunung api, negri yang mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun, atau hujan mengairi seluruh negri, yang seharusnya itu menjadikan negri kita subur. Kenyataannya? Kita impor berbagai bahan pangan! Beras, jagung, kedelai, gandum, gula, bahkan garam. Gimana ya..

Negri kita menduduki peringkat 4 dunia dalam hal jumlah penduduk. Jumlah itu akan terus bertambah. Tapi jumlah petani kita terus menurun. Wajar saja negri kita impor pangan. Eh, wajar? Kita nggak bersyukur banget ya. Dianugerahi iklim tropis, gunung api, curah hujan tinggi, eh nggak dimanfaatkan. Gimana dong..

Jadi, menanam (tanaman) itu buat apa? Bisa diterkalah jawabannya gimana.

Selasa, 28 Agustus 2018

Last Day Camp

Bismillah

Alhamdulillah, kemarin sudah hari ke 50 (atau ke 41) kemp semi konsentrasi. Terima kasih kepada 300an kawan yang tak berhasil kukenal satu per satu. Terima kasih spesial buat kawan segala usia atas lika-liku kehidupan laiknya pecel tradisional, ada segar, ada pahit, ada pedas. Ada tawa, ketegangan, dan kebijaksanaan.

Tak lupa segenap warga yang turut menyambut kami untuk menetap puluhan hari. Ramahnya terasa meresap hingga setiap gigitan makanan dan tegukan minuman yang terhidang secara acak sebelum matahari terbit atau sesudah matahari tenggelam.

Tak ada perpisahan, yang ada hanya pertemuan yang tertunda. Biarlah jarak memisahkan kita, karena jarak diperlukan untuk menciptakan kerinduan. Semoga kita tak melupakan pengalaman bersama kita untuk pengamalan sehari-hari menuju bumi Indonesia yang lebih bermartabat.

Minggu, 26 Agustus 2018

Eksis

Bismillah

Beberapa hari yang lalu aku membaca kisah seorang tawanan Nazi yang menceritakan kondisi orang-orang dalam kamp konsentrasi sebelum hingga sesudah penahanan.

Kamis, 12 Juli 2018

Benturan Budaya: Islam dan Jawa

Bismillah

Beberapa malam yang lalu aku menyempatkan diri menonton atraksi wayang kulit semalam suntuk. Enggak sepenuhnya sih, di tengah-tengah aku sempat memilih tidur karena ada inappropriate content. Wayang kulit identik dengan kebudayaan Jawa tingkat tinggi karena memang bahasa yang digunakan adalah Jawa Krama. Tidak semua orang bisa bahasa itu.



Kamis, 14 Juni 2018

Masyarakat Buta Memimpin Dunia (4)

Bismillah

Apabila bahan-bahan ilmiah dalam tulisan braille ini tidak mencukupi, mereka seperti orang-orang buta yang separuh buta yang mereka kagumi itu. Mereka diminta orang-orang lain membacakan untuk mereka...

Beberapa individu dari kumpulan bermata dua yang begitu rendah rasa jati dirinya dan gila akan pengakuan golongan buta dan sanggup membuktikan pengorbanan paling tinggi. Dengan bantuan sistem perobatan tercanggi dan dari pendanaan bantuan golongan buta dan separuh buta, mereka mencungkil sendiri kedua biji mata mereka. Sebagian yang lain dan kurang berani, hanya sanggup mencungkil sebiji matanya saja. Mereka ada yang bertongkat dan ada pula yang menggunakan perbutan anjing. Justru karena mereka masih berada dalam alam gelap dan separuh gelap, mereka kerap terjatuh dan tersasar, tidak seterampil guru-guru mereka yang memang telah sehati dengan kegelapan dan separuh gelap.

Seluruh golongan masyakakat buta dan separuh buta memuji keberanian mereka ini. "Inilah pahlawan-pahlawan sesungguhnya yang harus dicontoh, diberikan ruang, dan segala bantuan! Kita akan masuk ke lubang biawak mencari kebijaksanaan baru, ayo... cepat jangan ketinggalan!" Orang-orang ini telah lama dikisahkan oleh salah seorang mahaguru bermata dua yang tajam penglihatannya, sedang si buta, dengan lilin sebatang mencari mentari di siang hari...

(selesai)

Tulisan ini diambil dari Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud. M.A
S1 Ilmu Pengetahuan Alam
S2 Kurikulum dan Pengajaran (Universitas Illiniois Utara, AS)
Ph.D Pemikiran Islam (Universitas Chicago)
Mantan Wakil Direktur Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC), Universitas Islam Antarabangsa Kuala Lumpur, Malaysia