Beberapa hari yang lalu aku membaca kisah seorang tawanan Nazi yang menceritakan kondisi orang-orang dalam kamp konsentrasi sebelum hingga sesudah penahanan.
Sebagian orang bisa menjadi seperti babi, sebagian lainnya menjadi seperti nabi. Kebaikan dan keburukan tak melekat pada satu kelompok orang saja. Masing-masing kelompok ada yang baik ada juga yang buruk. Komandan kamp dari Nazi terkadang menaruh simpati kepada para tawanan sementara penjaga kamp yang dipilih dari tawanan paling bengis seringkali lebih kejam dari Nazi itu sendiri. Artinya manusia tidaklah seperti mesin yang hanya merespon keadaan sekitarnya. Jika A maka B, jika C maka D. Nggak, manusia punya kemampuan memilih, mengambil keuntungan pribadi dengan mencederai tawanan lain agar terpilih menjadi penjaga kamp, mengorbankan diri untuk menghidupkan orang lain, atau memilih bunuh diri menyerah dengan keadaan.
--oo0oo--
Beberapa pekan ini aku terusik dengan istilah eksistensialisme. Berawal dari obrolan selera lagu.
📚"Kebanyakan lagu-lagu Indonesia isinya menye-menye."
🚂"Yep, beda sama lagunya luar negeri, Barat khususnya."
📚"Kebanyakan eksistensialis."
🚂"Kebanyakan lagu-lagu Barat menyerukan kebebasan."
📚"Ya itu namanya eksistensialis."
🚂"Aku berharap ada lagu-lagu di Indonesia yang liriknya menghargai alam, biar mereka secara nggak sadar memosisikan diri jadi khalifah."
Aku pun bersyukur, sepertinya Allah menunjukkanku jalan-jalan abstrak yang ada hubungan satu sama lain. Beberapa hari kemudian aku menemukan pembahasan mengenai eksistensialisme. Bahkan semalam setelah penemuan pembahasan itu, temanku dari jauh menghubungiku dan menanyakan apa yang akan aku lakukan di masa depan. Hmm.. something wrong with me
Aku merasa berada dalam kamp konsenstrasi yang tak terkonsentrasi (aduh oposeh). Kamp ini akan membentukku menjadi seperti babi, nabi, atau mati tanpa makna?
Blue-blue-hijau-purple adalah warnaku saat ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar