Selasa, 19 Januari 2016

Mau Move On?

Bismillah

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Apa hukumnya ini? Apa hukumnya itu? Aku bukanlah ahli hukum yang bisa menjawab seluruh permasalahan yang ada mengingat aku masih belum punya pemahaman ushul fiqh. Namun, ada hal yang menarik ketika pertanyaan itu dilanjutkan dengan, "Gimana caranya biar nggak terulang?" Itu masuk ranahnya bongkarhabit.



Bongkarhabit, atau mengubah kebiasaan memang bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan berarti nggak mungkin berubah. Pernah kujawab dengan ayat dorongan semangat dari surat Al Baqarah ayat 74 mengenai hati yang lebih keras dari batu, padahal dari batu itu bisa pecah karena air. "Harapan itu masih ada!" Namun, kurasa ayat ini nggak begitu mudah dimaknai sebagai ayat dorongan semangat.




Ust. Felix Siauw pernah mengatakan dalam seminarnya, How to Master Your Habits, bahwa untuk mengubah kebiasaan, tak perlu menunggu dorongan semangat datang. Beliau menunjukkan simpanse yang bisa melakukan bela diri, padahal simpanse nggak mengenal dorongan semangat. Yang penting, lakukan saja, baik berat ataupun ringan. Memang sih, itu sangat masuk akal terlebih lagi apabila dihadapkan dengan kisah seseorang yang nggak bisa bahasa asing, lalu ditempatkan di tempat asing itu selama setahun. Ya, seseorang itu bisa mengubah kebiasaan bahasanya, tapi itu melibatkan lingkungan yang memaksanya untuk berubah. Kisah simpanse tadi juga berhubungan dengan lingkungan yang mendidiknya. Gimana kalau lingkungan nggak mendukung?

Bismillah. Menjawab pertanyaan ini susah-susah gampang, semoga ada masukan dari yang lebih paham.

Dari kajian Ust. Budi Ashari, beliau menjawab dengan kalimat, "Bumi Allah itu luas, berijrahlah. Nggak ada yang namanya Muslim nanggung. Mau jalankan ini enggak, mau jalankan itu juga enggak." Jawaban beliau sangat bisa diterapkan buat orang-orang yang hidupnya nggak begitu terikat dengan lingkungan sekitarnya. Memang, apabila dibandingkan dengan hijrahnya Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ketika dakwah di sana-sini penuh tekanan, opsi terbaiknya adalah hijrah, meski harus meninggalkan seluruh harta di rumahnya. Namun, gimana kalau buat seorang mahasiswa yang ingin berubah tetapi kuliahnya berdekatan dengan orang tuanya? Maksudku adalah lingkungan di rumahnya kurang mendukung untuk berubah. Haruskah ia hijrah? Hijrah kemana? Hmm, sulit untuk menjawabnya.

Ada diskusi menarik dengan Dr. Adian Husaini. Alhamdulillah, Allah Yang Maha Pemberi Petunjuk memberikan jawaban melalui diskusi dengan beliau. Beliau menjawab bahwa jangka waktu perkuliahan memang nggak lama, 4 tahun rata-rata. Dengan tuntutan perkuliahan yang cukup tinggi terutama pada kampus-kampus yang sudah memiliki nama sehingga yang perlu dilakukan adalah bersabar sambil membangun framework berpikir yang tepat supaya bisa melesat cepat ketika selesai kuliah. Oke, itu untuk kondisi yang susah move on ketika di masa perkuliahan. Bagaimana dengan mahasiswa yang berasal dari luar kota? Tentunya lebih mudah untuk move on karena lebih diberi kebabasan untuk memilih jalan untuk berhijrah.

Ada dua poin yang cukup menarik untuk diperhatikan dari dua pendapat di atas. Pertama, jika bisa, pilihlah lingkungan yang benar-benar mendukung untuk berubah, baik dari tingkat kebisingan, lingkungan pertemanan, termasuk juga bagaimana bisa meredam gangguan-gangguan dari ponsel yang sehari-hari memancing penggunanya untuk membuka lebih lama, terutama ketika ada jatah internet. Akan sangat mendukung sekali apabila berkumpul di tempat yang kondusif, bersama teman-teman yang ingin berubah, juga ada pembimbing di dalam rumah itu.

Kedua, setidaknya membangun framework berpikir. Bahkan, ketika framework berpikir ini terbentuk dengan baik, tanpa berhijrah pun bisa membuat move on. Bagaimana bisa? Kebiasaan adalah hal yang yang dilakukan secara terus-menerus sehingga bisa dilakukan tanpa harus berpikir terlebih dahulu. Contoh sederhananya adalah orang yang sudah terbiasa melakukan perjalanan dengan jalur yang hampir tiap hari ia lalui. Ketika ia sudah terbiasa dengan jalur tersebut, ia mampu mengemudi sambil merencanakan apa saja yang harus ia lakukan dalam sehari tanpa khawatir kendaraannya akan menabrak sesuatu. Berbeda dengan seseorang yang memilih jalur baru dalam perjalanannya. Ia akan mengemudi lebih hati-hati sambil mengamati kondisi jalan sehingga sulit disambi dengan merencanakan kegiatan apa yang akan ia lakukan seharian. Lalu, bagaimana cara mengubahnya?

Dalam beberapa kejadian, mengubah kebiasaan nggak bisa serta-merta melakukan hal sebaliknya sebagaimana dalam berkendara, cukup memilih rute yang lain secara rutin. Kecanduan dengan rokok misalnya, nggak cukup dengan tidak merokok saja. Mengapa nggak cukup dengan "tidak merokok"? Karena kecanduan berhubungan dengan pikiran seseorang. Artinya, perlu diberikan pemikiran yang sebaliknya dengan merokok. Apa lagi ini?

Delapan tahun yang lalu, aku tergabung dengan tim robotika, dengan segala kesibukannya merancang, merakit, dan menyesuaikannya sehingga muncul kemampuan terbaiknya. Saat itu kami pulang larut malam. Di saat jenuh, temanku bercerita, "Enake pas ngene iki ngoker, rasane pikiran iki iso plong." *yang nggak paham, tanya orang di sebelah* Jika diamati dari cara berpikir itu, perlu diberikan pemikiran yang sebaliknya : bahaya merokok. Namun lagi, yang namanya sudah kecanduan, nggak bisa serta-merta diberikan bahaya merokok. Entah apa istilahnya, dia tentu menyadari bahwa merokok bukanlah hal yang baik, merokok adalah hal yang buruk. Barangkali istilah yang tepat adalah dia belum mendapatkan hidayah.

Bicara mengenai pikiran memang bukanlah hal yang gampang, karena pikiran berhubungan dengan ruh. Padahal ada ayat yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.”  yang artinya tulisan ini masih jauh dari bisa dipertanggungjawabkan. Namun, ada buku menarik yang cukup bisa menjelaskan masalah mengubah pemikiran : Dari Perenungan Menuju Kesadaran, karya Dr. Malik Badri.

Hal yang masih perlu penelitian lebih, bagaimana seseorang bisa melakukan sesuatu? Apa just do it? Pertanyaan yang lebih jelas lagi, bagaimana seseroang bisa merokok? Apa tiba-tiba merokok begitu saja? Ya emang gitu sih. Menurut buku di atas, dalam kehidupan sehari-hari, muncul lintasan-lintasan dalam diri seseorang. Lintasan di sini bukan dalam artian sirkuit atau jalur, tapi istilah gampangnya adalah wangsit.

Lintasan yang muncul bisa berupa lintasan baik-buruk, berguna-tak berguna, atau penting-remeh. Uniknya adalah, apa tanggapan kita selanjutnya? Apakah lintasan itu diteruskan, ataukah diabaikan? Kalau lintasan itu diabaikan, selesai sudah. Sebaliknya, kalau lintasan itu diteruskan, lintasan itu akan berubah menjadi pikiran. Lanjut lagi, apa tanggapan kita selanjutnya? Apakah pikiran itu diteruskan, ataukah diabaikan? Kalau pikiran itu diteruskan, akan jadi perbuatan. Sebaliknya, kalau pikiran itu diabaikan, selesai sudah. Unik kan? Mungkin yang jadi pertanyaan adalah, gimana caranya bisa mengendalikan lintasan?

Kemunculan lintasan ini, menurut buku di atas, nggak mudah dikendalikan. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Tantangannya adalah apa tanggapan kita dengan adanya lintasan yang tiba-tiba muncul itu, apakah diteruskan, atau diabaikan? Menurutku ada cara yang bisa mengurangi kemunculan lintasan itu. Berangkat dari pemikiran manusia mempengaruhi ruang, ruang mempengaruhi manusia. Maksudku adalah singkirkan hal-hal yang bisa membuat lintasan itu muncul, menyingkirkan rokok misalnya atau menyingkirkan foto mantan misalnya *problema anak muda*

Oleh karena itu ada do'a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
yang artinya, "Ya Allah Dzat yang mengarahkan hati, arahkanlah hati kami untuk selalu taat kepada-Mu." HR Muslim.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar