Kamis, 12 Juli 2018

Benturan Budaya: Islam dan Jawa

Bismillah

Beberapa malam yang lalu aku menyempatkan diri menonton atraksi wayang kulit semalam suntuk. Enggak sepenuhnya sih, di tengah-tengah aku sempat memilih tidur karena ada inappropriate content. Wayang kulit identik dengan kebudayaan Jawa tingkat tinggi karena memang bahasa yang digunakan adalah Jawa Krama. Tidak semua orang bisa bahasa itu.





Ada hal menarik ketika dikaitkan dengan konteks kebudayaan sekarang. Kebudayaan antara Islam dengan Jawa seringkali dibenturkan. Pelik memang. Ada urusan-urusan dakwah yang hanya bisa diterima oleh orang-orang yang sudah melewati tahapan tertentu tetapi dengan pesatnya alat komunikasi, pesan-pesan dakwah itu mengalir ke masyarakat awam sehingga terjadi kesalahpahaman. Masyarakat yang belum tersentuh dakwah dengan baik pun meresepon bermacam-macam. Malangnya, masyarakat yang sudah tersentuh dakwah tetapi masih belum matang merespon masyarakat awam. Apabila sesama orang badui beradu mulut, apa yang kamu harapkan? Masalahnya adalah masih banyak orang badui di negeri ini.

Konkritnya adalah ketegangan antara salafis dengan tradisionalis. Kecintaan salafis terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memang luar biasa. Hal itu bisa dibuktikan dengan meniru segala perbuatan Rasulullah bersama dengan para sahabatnya dan para muridnya (karena memang ada beberapa perbuatan yang khusus pada Rasulullah saja). Hal itu wajar. Bayangkan saja ada seseorang yang menggemari artis luar dalam, tentu Ia akan meniru segalanya, baik penampilannya bahkan hingga caranya tidur. Hanya saja, masalah muncul ketika melihat sesama fans tetapi tidak tampak seperti fans yang seharusnya: heresy.

Masalah tidak berhenti sampai disitu. Kebanyakan dari kita belum memiliki pandangan hidup Islam yang sama: sama-sama pemakmur dunia dihadapan Tuhan yang sama dengan ikatan syahadat yang sama. Tiadanya pandangan hidup ini membuat kita melihat orang yang berbeda sebagai musuh yang harus dikonversi atau dilenyapkan. Padahal kalau kita menyimak bagaimana kisah murid generasi awal melihat saudaranya melakukan kesalahan: Ibnu Umar, "Ada tiga hal yang dilakukan Mu'awiyah yang seandainya saja aku melakukan satu hal saja aku sangat malu bertemu dengan Allah dan RasulNya. Pertama memberontak kepada khalifah Ali, kedua memberi nasab kepada Ziyad bin abihi, ketiga mengangkat anaknya yang tidak mempunyai kualifikasi sebagai pengganti." Sekalipun Ibnu Umar mengetahui kesalahan fatal Mu'awiyah, beliau tetap menghormatinya sebagai pemimpin, tidak lantas dimusuhi atau bahkan dilenyapkan.

Salafis memang menggunakan ilmu dalam mengonversi fans yang berbeda, tetapi terkadang kurangnya penggunaan hikmah malah membuat antipati. Satu hal lagi, ketika bersinggungan dengan budaya (tingkatan muamalah), seperti perayaan misalnya, terkadang digolongkan sebagai fiqh. Akhirnya rasanya bertentangan antara budaya dengan agama, akhirnya budaya tersebut harus dilenyapkan. Mengapa ini menjadi masalah?

Ketika Belanda menjajah Tanah Jawa, Belanda mengalami kesulitan dalam operasinya, baik secara militer maupun agama (2 dari 3G). Masyarakat Jawa tetap banyak memeluk agama Islam, padahal sudah puluhan tahun dijajah. Namun Belanda tak kurang akal. Mereka mendirikan penelitian kebudayaan Jawa hingga berhasil menggali budaya-budaya Jawa yang sudah hilang. Akhirnya mereka sedikit tahu bagaimana caranya menjauhkan masyarakat Jawa dari Islam. Mereka memunculkan kembali budaya Jawa yang lama dan berusaha mengikis Islam dari kebudayaan Jawa. Akhirnya, kita akan merasa janggal ketika ada orang Aceh beragama Kristen, tetapi mengapa orang Jawa beragama Kristen atau yang lain tidak terasa aneh?

Kita perlu mempelajari kembali budaya kita sendiri. Jangan sampai budaya yang ada diduduki agama lain seperti yang terjadi di Filipina sehingga apabila terdengar kata Jawa, maka akan terbesit dalam benak: bukan Islam.

Kembali ke atraksi wayang kulit yang kusimak sampai gunungan ditutup, ada hal menarik. Dalang menyisipkan pesan-pesan dakwah secara eksplisit, 2 dari 11 sinden perempuan menggunakan jilbab, dan menyindir penonton yang perempuan untuk pulang karena sudah terlalu malam. Kenapa bisa begitu? Ternyata anak si dalang bersekolah di SDIT dan tak henti-hentinya mengajak ibunya yang juga menjadi sinden untuk berjilbab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar