Saat aku menulis bagian ini, kurasa ada yang menarik dari keilmuan. Entah benar atau tidak, karena ide ini baru melintas seketika aku membuka halaman depan blogger. Secara umum, ilmu terbagi atas tiga hal: ilmu untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla, ilmu untuk memakmurkan dunia, dan ilmu yang tak berguna. Aku memilah ketiga jenis keilmuan ini menurut framework dari Al Baqarah ayat 30 dan Adz Dzariyat ayat 56. Yah, buka sendirilah kalau lupa..
Meskipun aku setuju dengan kalimat Conan, "Hanya ada satu kebenaran", aku masih membagi keilmuan menurut kebenaran tunggal dan kebenaran ganda. Kebenaran tunggal itu keilmuan yang digali untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla yang sifatnya absolut berasal dari wahyu. Sementara kebenaran ganda itu keilmuan yang digali untuk memakmurkan dunia. Kukatakan ganda karena berasal dari ra'yu (pendapat) yang bisa salah, bisa benar. Aku setuju dengan kalimat Conan karena aku menganggap memang sebenarnya kebenaran itu tunggal, tetapi akal manusia belum mampu mencapainya, atau karena kekotoran politik manusia yang membuat kebenaran menjadi ganda.
Cari di youtube: Two & Two |
Sebenarnya aku ingin membahas bagian ilmu untuk memakmurkan dunia. Mengambil dari ide dari Bang Imad, Allah azza wa jalla telah menciptakan dunia dengan ukuran. Artinya, dunia ini diciptakan dengan hukum tertentu. Apabila kita bisa memahami hukum dunia ini, akan selamatlah kita di dunia. Sebagaimana orang-orang mempelajari ilmu kedokteran, supaya bisa memahami bagaimana sistem entah apa namanya, mungkin sistem kesehatan, bisa membantu kehidupan manusia kedepannya untuk tetap fit. Begitu pula ilmu fisika dipelajari. Dengan mempelajari fisika, orang bisa tahu seberapa banyak bahan bakar yang harus disediakan untuk memanaskan besi supaya bisa dibentuk menjadi gigi roda untuk mempermudah manusia dalam melakukan perjalanan. Andai setiap orang yang mempelajarinya dan mengajarkannya tahu untuk apa ilmu itu dipelajari, tentu indah dunia ini. Sayangnya, nilai-nilai dipisahkan dari keilmuan. Hanya mempelajari kerumitan, tak tahu untuk apa ilmu itu akan digunakan. Minimal setidaknya sebagai alat yang membantu manusia untuk bersyukur. Namun, sekali lagi sayang, tak tahu untuk apa dipelajari, sehingga dengan mudahnya ditarik perusahaan yang bisa jadi merugikan manusia itu sendiri.
Kaitannya dengan jurusan tempatku belajar, kebanyakan yang kupelajari adalah ilmu sosial. Tentunya kebenaran itu menjadi sangat kabur mengingat yang dipelajari adalah manusia sebagai tempat salah dan lupa. Bisa dikatakan, ilmu dunia dipelajari untuk memprediksi apa yang terjadi ke depan, apa yang harus dilakukan di masa depan. Tentunya prediksi berbeda dengan ramalan yang lebih tak jelas kebenarannya. Prediksi ini dilakukan berdasarkan data-data yang ada, dilihat polanya, sehingga membentuk informasi yang berguna. Tentunya, data-data itu harus akurat untuk menemukan "kebenaran tunggal". Bagaimana kalau ternyata data itu tak akurat? Tentu akan menghasilkan prediksi yang salah. Tak hanya data, dilihat pula polanya, data apa saja yang perlu dilihat, data apa saja yang perlu diabaikan, apakah prosesnya hanya sekali, atau beberapa tahap. Apabila polanya salah, salah pula prediksinya.
Inilah yang menjadi kendala bagi jurusanku, Pertama, di bagian data. Ketika aku menyentuh mata kuliah Perencanaan Lingkungan Pesisir 1, saat itu kami hanya disuruh melihat dokumen perencanaan pesisir yang sudah ada, lalu menuliskan ada data apa saja yang tercantum di sana. Ternyata, setelah dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang ada, tidak semua dokumen memiliki data yang sama. Bukan angkanya yang sama, tetapi data seperti peta bathimetri (relief dasar laut), kecepatan dan arah arus laut, lokasi dan jenis terumbu karang, dll. Ada pula dokumen yang entah siapa mencontek siapa. Angka-angka yang tertera pada data di dokumen sama persis padahal dari dua wilayah yang berbeda. Itu baru masalah data. Bagaimana dengan pola? Aku baru tahu cukup mengerikan.
Salah satu indikator keberhasilan perekonomian suatu wilayah adalah dengan melihat PDRB (atau GNP jika tingkat nasioinal). Inilah yang sering dijadikan standar di jurusanku, meskipun ada beberapa dosen yang meminta klarifikasi dengan data yang lain. Aku baru tahu data itu cukup berbahaya yang entah mengapa baru kusadari padahal sudah diterangkan sewaktu SMA dulu. Mengapa PDRB yang digunakan, mengapa tak PDRN? PDRB berisikan pendapatan dari wilayah bersangkutan, tak peduli milik siapa pendapatan itu, bisa jadi 95% pendapatan itu milik asing. Inilah data yang diakui BPS sebagai indikator keberhasilan ekonomi. "Selama ini aku dibodohi." Itulah kata-kata yang terlintas sewaktu aku menyadarinya.
Entah, BPS yang kini sedang menjalani sensus ekonomi nasional, sekali lagi entahlah. Apakah data-data yang ada di dalamnya bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Semester awal aku kuliah dan sampai sekarang, aku menemukan data yang menjiplak dari tahun sebelumnya, atau dari daerah lain. Barusan terakhir aku menghitung ulang data laju pertumbuhan penduduk per tahun per provinsi. Hasilnya? Ketika rata-rata laju pertumbuhan penduduk nasional pada tahun 1971-1980 tertera 2,31, angka yang kuhitung menunjukkan 2,9. Begitu pula pada tahun 1981-1990 menunjukkan angka 1,98 dibandingkan dengan perhitunganku 2,55. Tak percaya? Coba unduh tabel dan hitung sendiri dari situsnya langsung https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268 :D Pantas saja sewaktu uji validasi statistik apabila menggunakan data BPS nilainya selalu rendah (di bawah 80%) di semester awal lalu.
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar