Mendengar penelitian yang akan kulakukan, sebagian teman-temanku menyarankanku untuk memilih Pacitan sebagai lokasi. Pacinta, biasa kami pelesetkan seperti itu karena butuh kerja keras untuk hidup di sana, butuh cinta supaya betah disana, mungkin. Tapi kukatan, "Ini baru penelitian, belum ke penerapannya."
Sekilas terdengar menarik apa yang terjadi di Pacinta. Tanah berupa bukit-bukit karang tandus dan infrastruktur yang minim membuat Pacinta masuk ke trilogi kabupaten terbelakang di Pulau Jawa: Pacitan, Wonoobo, Wonosari atau disingkat menjadi Pawonsari. Aku pun membayangkan bagaimana hidup di sana, dalam keterbatasan entah ada listrik atau enggak, entah ada sinyal atau enggak karena aku baru merasakan situasi yang mungkin mirip dengan situasi Pacinta, Tulungagung.
Tulungagung, tepatnya di bagian pesisir, merupakan barisan bukit bekas perkebunan Belanda. Dua pekan yang lalu, aku mendaki gunung melewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang. Memang, ada jalan yang sudah bagus beraspal hotmix, tapi sebagian besar masih jalan berbatu atau sudah beraspal tapi kualitas rendah, rusak. Yang kami rasakan dari kecamatan hingga ke pesisir hanyalah melihat hutan kelapa, ladang jagung, dan ladang ketela. Jenis tanahnya tanah kering yang hanya bisa dipanen setahun sekali untuk ladang. Aku tak bertanya kapan panen kelapa dilakukan.
Dalam perjalanan mencari permukiman warga, kami dipandu orang kelurahan. Aksesnya susah bukan main, hingga terdengar rintihan mobil yang kami tumpangi. "Krak, kratak kratak.." Di tengah perjalanan, kami berhenti untuk menyusuri jalan setapak. Motor pun tak bisa masuk karena harus melewati sungai yang meskipun kecil, tapi cukup terjal dan resiko banjir bandang dari atas. Sesampainya di permukiman warga, kami disambut dengan kepala dusun dengan bahasa khas Tulungagung yang tak dipahami kecuali aku seorang. Rumahnya sederhana, dari kayu. Tidak ada sinyal, listrik harus berhemat-hemat karena berasal dari kabel oloran rumah nun jauh di balik bukit. Uniknya, mereka tidak merasa miskin dengan kondisi yang demikian karena masih bisa makan meskipun hanya ketela.
Airnya dari mana pak? Peh, dari kali dek |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar