Minggu, 26 Juni 2016

Sepekan Setelah Tamyiz

Bismillah

Salah satu kajian dari akademi peradaban di MMI menceritakan kisah Islamisasi kebudayaan pada masa kerajaan Hindu saat itu. Perayaan pesta yang diadakan oleh orang-orang kaya nggak terima sehari-dua hari. Perayaan bisa 7 hari sampai 40 hari. Entah ya, itu ngapain aja, tapi yang jelas disana ada pertunjukan drama entah dalam bentuk wayang orang atau kulit. Drama yang ada mengisahkan cuplikan-cuplikan Mahabarata. Sunan Kalijaga memanfaatkan media itu untuk berdakwah dengan mengganti kisah-kisah yang bertentangan dengan ketauhidan, perlahan tapi pasti. Salah satunya adalah desakralisasi dewa-dewa yang awalnya sangat kuat berkuasa menjadi kalah melawan Semar.



Masyarakat yang saat itu belum mengenal budaya baca tulis (karena hanya untuk kasta tingkat tinggi) membuat Sunan Kalijaga mengasah otak mencari cara yang tepat supaya masyarakat mampu mengingat ajaran Islam. Mengambil metode mengingat yang digunakan salaf dahulu, Sunan Kalijaga membuat syair-syair yang berisikan pesan-pesan ajaran Islam. Salah satunya adalah macapat yang menceritakan tahapan manusia. Mulai dari Maskumambang (dalam kandungan), Sinom (masa muda), hingga Pucung (dibungkus kain kafan-pocong). Aku nggak hafal gimana syairnya, yang jelas itu media efektif buat mengingat pesan-pesan, hanya saja dinyanyikan karena atmosfirnya waktu itu penuh dengan dunia hiburan, kajian yang bentuknya seperti sekarang waktu itu masih tabu. Kalau mau syair-syairnya kayak gimana, bisa tanyakan ke Ust. Salim A. Fillah, beliau hafal dan paham maknanya.

Zaman berulang, dunia hiburan mengakar kuat. Orang-orang semakin terbiasa dengan nyanyian, semakin banyak lirik yang dihafal kecuali aku. Ya, entah sejak dulu kemampuan verbalku lemah. Sejak masuk kuliah aja lirik baru yang kuhafal cuma Hymne ITS, Buruh Tani, Totalitas Perjuangan, dan sebagian lagu Tamyiz yang kupelajari sepekan yang lalu di SDM Iptek. Numb-Linkin Park sama Dewa -bahkan judulnya nggak hafal- yang pernah memukau di depan hampir seribu penonton aja aku nggak hafal seluruh liriknya, hehe.

Ohya, tamyiz itu metode belajar Bahasa Arab yang rumus-rumusnya dihafal dengan nyanyian. Metode ini masih muda, baru dikembangkan kuran dari 10 tahun di Indramayu. Ketika aku mengikuti pelatihan ini, cuma 3 hari, aku teringat dengan metode Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran Islam. Kucari metode ini di yutub, luar biasa. Metode ini berkembang sesuai peserta didiknya. Yang menyesuaikan adalah lagu yang digunakan tiap daerah berbeda-beda.

Haha, pikiranku berkembang lagi membuka ingatan lama. Metode yang berkembang sesuai penggunanya ini mirip dengan Linux. Linux adalah salah satu sistem operasi dalam komputer yang bisa dimodifikasi dengan bebas asalkan bisa memodifikasi. Lisensi diserahkan ke penggunanya. Semua orang bisa mengubah, entah bergabung dengan yang ada tau membuat cabang sendiri. Inilah yang disebut open source, dunia impianku. Dunia yang setiap orang memiliki kesadaran untuk memperbaiki dunia, dunia yang setiap orang memiliki pemahaman bahwa satu sama lain memiliki keterikatan yang bisa membangun dunia. Ketika ia melihat ada duri di tengah jalan, ia segera menyingkirkan tak peduli ada yang orang yang melihat atau tidak karena ia memahami bahwa perbuatannya dapat menyelamatkan orang lain.

...

Kembali ke Tamyiz. Di antara 2 lampu rumah yang meanyala, 4 menara masjid yang bersorak-sorak serak, dan di depan LCD 19 inci yang mati, aku mendengarkan review tamyiz dari berbagai daerah. Entahlah, apa ini karena budaya lisan yang diwariskan dari Sunan Kalijaga, atau apa entah sebutannya, aku merasa orang-orang kurang bisa memaknai apa yang Ia lakukan. Metode tamyiz diciptakan untuk mempermudah belajar Bahasa Arab, untuk mempermudah memahami Al Quran dan As Sunnah, tetapi kesan yang ditimbulkan dari video-video yang beredar seakan tamyiz sebatas media hiburan. Tamyiz berubah menjadi nyanyian-nyanyian dengan tarian. Pernah kubaca dari salah seorang santri yang isinya cukup menggemaskan, "Paham gak paham sing penting nyanyi." Hmm.. Aku semakin menyalahkan sistem pendidikan yang tujuan besarnya buat menyelesaikan soal, buat tembus ujian, bukan buat "diterapkan dalam kehidupan sehari-hari."

Kalau udah gini, gimana bisa memiliki kesadaran untuk memperbaiki dunia? Semoga yang kulihat cuma sebagian kecil aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar