Rabu, 03 Mei 2017

Pergi Saja ke Desa Sebelah

Bismillah

Selepas kembali ke Kota Situbondo, salah seorang temanku mengingatkanku, "Kenapa tidak menginap saja?" Ide yang sangat bagus. Mengingat jarak antara kota dengan lokasi desa terpencil terdekat melebihi 20 KM, ide itu kutelan dengan senang hati. Berangkatlah menuju desa-desa terpencil.

Entah, apa yang kupikirkan saat itu. Aku berniat bermalam di pelosok desa dengan gaya bonek, bondo nekat. Yep, kalau tak salah uang yang kubawa dalam dompet waktu itu hanya 200 ribu rupiah. Meski ada kartu ATM, kartu itu tak begitu mudah untuk dipakai karena lokasi ATM juga ada di sekitar kota. Pakaian ganti hanya bawa 2 lapis pakaian inti, selapis pakaian cadangan, dengan sikat gigi, odol, sabun, tanpa handuk. Laptop, charger laptop, power bank, kabel data, pocket camera, tanpa charger ponsel. Ya, waktu itu ponsel tak begitu berguna untuk komunikasi karena sinyal operator yang kugunakan tidak terjangkau. Alhasil, ponsel kualihfungsikan menjadi kamera dengan mode pesawat. Jadi, tak perlu bawa charger ponsel. Berapa hari aku di pelosok desa? 3 hari 3 malam.




Perjalanan pun dimulai. Aku harus menuju kecamatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan administrasi. Saat itu hari Jumat, artinya administrasi harus selesai semua sebelum azan berkumandang. Alhamdulillah administrasi berhasil terselesaikan. Selagi masih belum adzan, aku pun meluncur langsung ke pelosok desa. Kata petugas di kecamatan sih, jalannya beraspal. Jadi, berangkat aja.

Kukira dengan kabar teraspalnya jalan membuat jalan terasa dekat. Aku salah. Jalan memang beraspal, meski sebagian aspal rusak, tapi lagi-lagi harus melaju pada jalan yang menanjak dan berliku, juga terasa tak berujung. Serba salah. Sudah terlajur jalan, nggak tahu apakah sudah dekat atau belum. Perasaan khawatir itu muncul karena sebentar lagi harus shalat Jumat!

Yep, akhirnya sampai juga. Suasananya sepi, Ada sekolah, tapi tak ada manusianya. Ada rumah, tapi nggak ada penghuninya. Aku pun menerobos desa entah ke mana hingga akhirnya bertemu dengan seseorang, "permisi, masjidnya dimana?" Aku menggunakan Bahasa Indonesia karena memang penduduk di sini bukan orang Jawa. Sesosok tadi menunjukiku jalan setapak. Aku tak melihat ada tanda-tanda masjid, tapi orang-orang berdatangan dengan sarung dan pecinya. Melihat ada motor yang terparkir, aku pun juga ikut memarkirkan motorku di sana.

Masjidnya tak besar, lebih cocok dipanggil mushala. Maklumlah, ada di pelosok desa. Begitu sederhana, begitu asli. Ketika tiba waktunya, azan berkumandang, setelahnya khatib segera naik ke mimbar, tanpa pengumuman infaq atau basa-basi lain. Aku menyimaknya dengan sesama. Dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit, panjang sekali mukadimahnya. Ya, aku mengira masih mukadimah. Ternyata setelah hampir sepuluh menit, khatib duduk dari mimbarnya. Wah, ternyata khutbahnya dengan Bahasa Arab. Serasa tinggal di abad delapan belas, abad yang waktu itu khutbah Jumat masih menggunakan Bahasa Arab. Yep, khutbah dengan bahasa lokal baru ada di akhir paruh abad 19. Jamaah memahami khutbahnya? Aku merasa sang khatib sendiri nggak paham apa yang diucapkan, terlihat dari pembacaannya yang menggunakan teks, tanpa ada isyarat tangan atau perubahan raut muka. Benar-benar asli pedalaman.

Seusai shalat Jumat, aku bertanya kembali kepada warga, dimana aku bisa membeli makanan. Katanya, kalau makanan berat cuma ada satu, lontong tahu petis. Aku pun segera menuju lokasi yang ditunjukkannya. Jalannya masih tanah, tapi tanahnya padat. Suasananya sejuk karena jalan berada di antara pohon rindang.

Sesampainya di lokasi, aku melihat ada anjing keluar masuk rumah warga di seberang warung. Aku hanya diam sambil waspada. Setelah anjing tadi pergi, aku segera masuk ke warung. Gimana suasananya? Super sepi. Jelasnya, perabotan di warung menggunakan kayu jati, karena di sekitar sini memang banyak pohon jati yang sudah menjadi balok-balok. Jangan dibayangkan perabotannya menggunakan ukiran meliuk-liuk, hanya sebatas log polos yang masih terlihat kulit pohonnya. Ah, lansung pesan makanan saja.

Sambil menunggu makanan dihidangkan, aku sempatkan untuk bertanya-tanya kondisi desa ini. Mulai dari kondisi listrik, air bersih, mata pencaharian, sampai komoditas pertaniannya. Pertanyaan seputar anjing juga tak luput. Katanya, ada banyak anjing berkeliaran di sini, karena banyak babi hutan. Aku pun tak paham. Aku tak menanyakan lebih lanjut karena meskipun dengan Bahasa Indonesia, tata bahasa di sini cukup aneh. Aku hanya mangut-mangut dengan jawaban pendek-pendek.

Akhirnya makanan pun siap disantap. Tak lupa pula beberapa cabe hijau cerah dalam mangkok terpisah. Eh, disana menyebutnya cabe biru. Lalapan yang membuatku terkesima. Bukan karena tampilan cabenya yang mulus, tapi ukurannya yang seukuran jari tengah! Kukira dengan ukuran sebesar itu, rasa pedasnya akan berkurang, mengikuti hukum massa jenis benda. Eh, aku salah. Ukurannya memang besar, tapi ternyata bijinya seukuran cabe hijau seperti biasanya. Jadinya, pedas! Biasanya dua kali lahap habis, sekarang sampai makanan habis saja masih belum.

Seusai makan, aku melanjutkan perjalanan menuju kepala desa sambil menjelajahi isi desa untuk mengetahui keadaannya. Sewaktu menjelajahi desa, ada bagian dari desa yang aku merasa seperti berada di lingkungan Keraton Jogja, terutama di sekitar sumur tua. Jalanan cukup lebar tapi dari padatan tanah coklat dan pagar rumah dari batu kali berwarna putih. Di sekitar sumur tua juga ada pohon beringin (?). Entah, mungkin aku mengigau. Setelah bertemu dengan kepala desa, aku melanjutkan perjalanan menuju dua lagi desa sebelah.

Foto yang ini catnya pudar
Desa sebelah? Yang benar saja. Secara administratif memang bersebelahan, dalam kecamatan yang sama. Namun, secara kenyataan, desa-desa itu terpisah jauh. Satu desa pada satu gunung, satu desa pada gunung yang lain, terpisah sawah-sawah dan sungai yang tak mungkin bisa dilewati. Jadinya, harus memutar turun kembali melewati jalan pantura! Kembali lagi meliuk-liuk dengan kendaraan bermotor sendirian kecuali saat di pantura yang berpacu dengan truk, bus, dan kendaraan roda empat lainnya. Selanjutnya, apa lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar