Bismillah
Selepas kembali ke Kota Situbondo, salah seorang temanku mengingatkanku, "Kenapa tidak menginap saja?" Ide yang sangat bagus. Mengingat jarak antara kota dengan lokasi desa terpencil terdekat melebihi 20 KM, ide itu kutelan dengan senang hati. Berangkatlah menuju desa-desa terpencil.
Entah, apa yang kupikirkan saat itu. Aku berniat bermalam di pelosok desa dengan gaya bonek, bondo nekat. Yep, kalau tak salah uang yang kubawa dalam dompet waktu itu hanya 200 ribu rupiah. Meski ada kartu ATM, kartu itu tak begitu mudah untuk dipakai karena lokasi ATM juga ada di sekitar kota. Pakaian ganti hanya bawa 2 lapis pakaian inti, selapis pakaian cadangan, dengan sikat gigi, odol, sabun, tanpa handuk. Laptop, charger laptop, power bank, kabel data, pocket camera, tanpa charger ponsel. Ya, waktu itu ponsel tak begitu berguna untuk komunikasi karena sinyal operator yang kugunakan tidak terjangkau. Alhasil, ponsel kualihfungsikan menjadi kamera dengan mode pesawat. Jadi, tak perlu bawa charger ponsel. Berapa hari aku di pelosok desa? 3 hari 3 malam.
Tampilkan postingan dengan label jelajah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jelajah. Tampilkan semua postingan
Rabu, 03 Mei 2017
Rabu, 22 Maret 2017
Kembang Desa Gunung
Bismillah
Aku nggak menyangka sebelumnya, perjalanan berbatu, terjal, dan berliku terlewati. Butuh waktu sekitar 4 hari buat menjelajahi desa-desa tertinggal yang ada di pelosok Kabupaten Situbondo. Gimana sih kondisinya?
Sebenernya ini bagian dari penelitianku yang kata banyak orang butuh waktu lama buat menyelesaikannya. Kata pak Anon (lupa namanya), eks Kabid Perekonomian Bappeda Kab. Situbondo, aspek penelitianku terlalu banyak. Kata Mas Arie, "Big Data" Bappeda Kab. Situbondo, satu perencanaan pengentasan kawasan desa tertinggal (berisikan dua desa) menghasilkan beratus halaman buku tebal yang tiga bulan belum selesai pengerjaaanya. "Kepalamu bisa pecah." Memang sih, sebaiknya fokus ke satu desa. Banyak desa boleh-boleh aja. Hanya aja, arahan pengembangan hasil penelitianku nanti nggak begitu mendalam. Ohya, lingkup wilayahnya ada 12 desa.
Aku nggak menyangka sebelumnya, perjalanan berbatu, terjal, dan berliku terlewati. Butuh waktu sekitar 4 hari buat menjelajahi desa-desa tertinggal yang ada di pelosok Kabupaten Situbondo. Gimana sih kondisinya?
Sebenernya ini bagian dari penelitianku yang kata banyak orang butuh waktu lama buat menyelesaikannya. Kata pak Anon (lupa namanya), eks Kabid Perekonomian Bappeda Kab. Situbondo, aspek penelitianku terlalu banyak. Kata Mas Arie, "Big Data" Bappeda Kab. Situbondo, satu perencanaan pengentasan kawasan desa tertinggal (berisikan dua desa) menghasilkan beratus halaman buku tebal yang tiga bulan belum selesai pengerjaaanya. "Kepalamu bisa pecah." Memang sih, sebaiknya fokus ke satu desa. Banyak desa boleh-boleh aja. Hanya aja, arahan pengembangan hasil penelitianku nanti nggak begitu mendalam. Ohya, lingkup wilayahnya ada 12 desa.
Senin, 28 Maret 2016
Desa Pacinta
Bismillah
Mendengar penelitian yang akan kulakukan, sebagian teman-temanku menyarankanku untuk memilih Pacitan sebagai lokasi. Pacinta, biasa kami pelesetkan seperti itu karena butuh kerja keras untuk hidup di sana, butuh cinta supaya betah disana, mungkin. Tapi kukatan, "Ini baru penelitian, belum ke penerapannya."
Sekilas terdengar menarik apa yang terjadi di Pacinta. Tanah berupa bukit-bukit karang tandus dan infrastruktur yang minim membuat Pacinta masuk ke trilogi kabupaten terbelakang di Pulau Jawa: Pacitan, Wonoobo, Wonosari atau disingkat menjadi Pawonsari. Aku pun membayangkan bagaimana hidup di sana, dalam keterbatasan entah ada listrik atau enggak, entah ada sinyal atau enggak karena aku baru merasakan situasi yang mungkin mirip dengan situasi Pacinta, Tulungagung.
Mendengar penelitian yang akan kulakukan, sebagian teman-temanku menyarankanku untuk memilih Pacitan sebagai lokasi. Pacinta, biasa kami pelesetkan seperti itu karena butuh kerja keras untuk hidup di sana, butuh cinta supaya betah disana, mungkin. Tapi kukatan, "Ini baru penelitian, belum ke penerapannya."
Sekilas terdengar menarik apa yang terjadi di Pacinta. Tanah berupa bukit-bukit karang tandus dan infrastruktur yang minim membuat Pacinta masuk ke trilogi kabupaten terbelakang di Pulau Jawa: Pacitan, Wonoobo, Wonosari atau disingkat menjadi Pawonsari. Aku pun membayangkan bagaimana hidup di sana, dalam keterbatasan entah ada listrik atau enggak, entah ada sinyal atau enggak karena aku baru merasakan situasi yang mungkin mirip dengan situasi Pacinta, Tulungagung.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Bismillah 星 読 (hoshu yomi) berarti melihat bintang Saat itu kami lagi duduk-duduk di pendopo utara membuat bait-bait puisi. Aku lupa pui...
-
Bismillah Sejak pengajaran keluarga besar kelas 1 SD aku tak paham. Apa itu paman, apa itu bibi. Padahal aku sudah bertanya beberapa kali,...
-
Bismillah Pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Apa hukumnya ini? Apa hukumnya itu? Aku bukanlah ahli hukum yang bisa menjawab seluruh permasa...