Rabu, 22 Maret 2017

Kembang Desa Gunung

Bismillah

Aku nggak menyangka sebelumnya, perjalanan berbatu, terjal, dan berliku terlewati. Butuh waktu sekitar 4 hari buat menjelajahi desa-desa tertinggal yang ada di pelosok Kabupaten Situbondo. Gimana sih kondisinya?

Sebenernya ini bagian dari penelitianku yang kata banyak orang butuh waktu lama buat menyelesaikannya. Kata pak Anon (lupa namanya), eks Kabid Perekonomian Bappeda Kab. Situbondo, aspek penelitianku terlalu banyak. Kata Mas Arie, "Big Data" Bappeda Kab. Situbondo, satu perencanaan pengentasan kawasan desa tertinggal (berisikan dua desa) menghasilkan beratus halaman buku tebal yang tiga bulan belum selesai pengerjaaanya. "Kepalamu bisa pecah." Memang sih, sebaiknya fokus ke satu desa. Banyak desa boleh-boleh aja. Hanya aja, arahan pengembangan hasil penelitianku nanti nggak begitu mendalam. Ohya, lingkup wilayahnya ada 12 desa.




Ada 4 aspek utama yang dibahas dalam penelitianku: sumberdaya manusia, infrastruktur, perekonomian masyarakat yang lebih sesuai kalau menjadi sumberdaya alam, dan kelembagaan. Tentunya akan jadi pembahasan yang cukup panjang kalau ditulis semuanya. Jadi, kutuliskan secara umum dan bagian menariknya aja.

Awalnya aku belum berniat berangkat ke desa. Waktu itu sebatas mencatat data sekunder dari profil desa yang ada di kecamatan. Namun, akhirnya ke desa juga. Setidaknya ada 21 KM perjalanan menuju Kecamatan Sumbermalang dari Besuki. Naik motor matic sewaan, hamparan sawah kuning dan hijau kulewati melalui jalan aspal mulus. Sewaktu lewat Pasar Widoro Payung, jalan mulai tampakkan guratan kerikil. Nggak masalah sih, masih enak dilewati. Di sini aku berhenti sejenak menikmati bakso menghapus lapar perjalanan entah berapa puluhan KM sebelumnya. Berapa harganya? Cukup bayar lima ribu rupiah aja.

Sebelum kulanjutkan perjalanan, rute menuju Kantor Kecamatan Sumbermalang kutanyakan pada penjual bakso. Haha, bersyukurlah penjualnya bisa Bahasa Indonesia, karena mayoritas penduduk di sini dari etnis berplat nomor M. Cukup ikuti jalan, setelah jembatan lurus aja. Kalau ketemu masjid di pertigaan, belok kanan. Kantor Kecamatan ada setelah lapangan. Kunyalakan motorku kembali setelah mengucapkan "matur nuwun". Yup, sesuai apa yang diberitaukan penjual tadi. Ada masjid di pertigaan, belok kanan. Eh, jalannya berbatu. Sambutan yang cukup menarik untuk desa tertinggal.

Waktu itu sekitar menunjukkan sekitar pukul setengah tiga, waktu yang cukup mepet untuk menutup kantor kecamatan. Alhamdulillah, disana disambut dengan hangat, dipersilahkan masuk ke ruangannya, dicarikan buku profil desa, dan segelas air putih yang kuminta karena haus hehe.

Pelayanannya begitu ramah, berbeda dengan kecamatan yang kusinggahi sebelumnya, kecamatan yang tampak lebih maju dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Sayangnya, buku profil desa di Kecamatan Sumbermalang lagi dipinjam. Aku pun ditawari untuk diajak ke dua desa tertinggal di kecamatan ini: Tamankursi dan Sumberargo. Awalnya sih aku akan diantarkan ke dua desa itu pakai motor yang suitable, karena jalannya berbatu dan terjal. Hanya saja, petugasnya lagi nggak ada di tempat. Akhirnya, aku diantarkan ke ojek terdekat dengan motor sewaanku yang matic. Ngeeng, ada sekitar 1 KM perjalanan naik turun.

Sesampainya di pos ojek, aku melihat sebuah kengerian yang belum pernah kubayangkan. Sesuai apa yang dikatakan petugas di kecamatan, jalannya berbatu dan terjal. Seketika aku mengalihkan pandanganku karena riuh suara di pos ojek tiba-tiba berhenti. Percakapan petugas kecamatan dan tukang ojek pun terjadi dengan bahasa yang tak kupahami kecuali sedikit: dari Surebeje. Aku segera turun dan mengobrol dengan petugas tadi. Kami bertukar nomor ponsel agar sepulang dari desa dijemput kembali di pos ojek.

Perjalanan pun dimulai. Satu batu, dua batu, tiga batu. Ah, entah berapa batu terlewati. Jelasnya, aku sedang memegang erat pegangan besi belakang di motor agak butut yang sedang kududuki. Tak hentinya kuucapkan istighfar dalam hati dengan raut muka yang tetap tenang. Nggak lama kemudian, perasaan horor itu hilang. Segera kukeluarkan hp dari sakuku untuk merekam perjalanan yang bisa jadi horor dengan salah satu tangan menggenggam erat pegangan besi.

Perjalanan ternyata nggak cuma berbatu dan terjal, tapi juga berliku. Awalnya memang naik, tapi setelahnya lebih banyak turun sehingga rem tua motor berdecit-decit. Perjalanan turun itu mengarah ke jembatan tua yang entah kapan dibangun. Kata abang ojek sih sudah ada sebelum abangnya lahir. Kira-kira berapa tua ya? Entah berapa lama usia jembatannya, jelasnya perjalanan horor mengulang kembali saat melintasi jembatan.


Alhamdulillah, lancar-lancar aja. Jembatannya nggak begitu horor, apalagi setelah melihat pemandangan sejuk Masya Allah sungai berbatu di bawahnya, juga terasiring di samping-sampingnya. Sayangnya, sungainya nggak kefoto.

Perjalanan berbatu, terjal, dan berliku dimulai kembali. Kali ini lebih banyak naiknya. Mungkin kalau aku fobia ketinggian aku bakal menghentikan perjalanan karena jalan yang kulewati cukup sempit dan disampingnya tanah curam menghujam ke bawah. Sesekali laut Situbondo terlihat kabur berbaur dengan birunya langit. Juga nggak sempat kufoto karena goncangan motor membuatku berhati-hati. Alhamdulillah, terlihat jalan rabat yang mengarah naik. Mulai kurenggangkan tangan kiriku dari pegangan. Jalan rabat itu mengarah ke desa Tamankursi.

Turun dari motor, kukatakan ke abangnya, "tunggu di sini ya mas". Aku pun melangkah ke ruang kantor desa melewati pendopo desa. Sewaktu di dalam, kepala desa sedang tidak ada di tempat. Aku ditemui pemuda paruh baya yang sudah dihubungi pihak kecamatan sebelumnya. Wah, welcome sekali. Aku pun mengutarakan maksudku, dan perwakilan kepala desa ini segera mencarikan buku profil desa yang kubutuhkan.

Sembari dicarikan buku profil desa, aku mengamati seisi ruangan sambil duduk. Di sebelah kiri ada jendela kaca, di daun jendela tertempel ponsel mengarah keluar tertahan kaca. Di lemari seberang tempat dudukku, ada monitor sekitar 21 inchi dengan kabel VGA menggantung di luar lemari. Lampu tersedia. Terlihat ada semacam router wifi menempel di salah satu jendela, entah benar atau enggak.

Sekitar 5 menit kemudian, buku profil desa ditemukan, meski tahun 2015. Tak masalah sih, masih bisa digunakan. Kamera segera kukeluarkan untuk mendapatkan data dengan cepat. Setelah memotret ria yang agak tersendat karena pertanyaan penasaran dengan kehadiranku di sini, aku memulai pertanyaan-pertanyaan untuk menklarifikasi data yang ada.

Ada 15 pertanyaan, tak perlu kusebutkan satu persatu di sini. Salah satu pertanyaannya adalah sinyal ponsel yang ada di desa ini. Wah,ternyata hp yang sedang menempel di kaca jendela sedang diposisikan untuk menangkap sinyal-sinyal yang ada. Sinyal internet yang diperlukan untuk membuka WA. Wah, ternyata router yang kulihat tadi tak berfungsi, atau itu memang bukan router wifi. Suguhan air putih pun kuucapkan terima kasih tanpa terkonsumsi karena sudah minum di kecamatan tadi.

Setelah seluruh pertanyaan selesai dijawab, perjalanan (horor) dilanjutkan kembali menuju desa Sumberargo yang lebih mendaki. Jalannya banyak rabat sih. meski sebagian jalan masih berbatu. Suasana perjalanan masih sama seperti sebelumnya.

Tak lama kemudian, sampai juga di balai desa Sumberargo. Eh, ada penjual sate dengan motor. Sayangnya aku harus segera menemui kepala desa karena hari mulai sore. Sungkan juga sama banyak orang di sini. Orang asing datang, tiba-tiba beli sate. Sekali lagi, aku pun disambut dengan kepala desa di sini. Sambil menyapa dengan anggukan dan senyuman ke orang-orang sekitar, aku meringsek maju menuju ruangan.

Di dalam ruangan, aku mengobrol sedikit say hi sebelum masuk ke intinya. Suasana yang cukup ramai di luar ruangan membuat pintu harus ditutup. Tak lama kemudian, aku ditawari rokok dalam kotak bergambar tenggorokan yang sedang terluka. Kutolak dengan halus sambil mengutarakan maksud kedatanganku. Akhirnya, diambilkanlah buku profil desa.

Sama seperti sebelumnya, aku memotret lembaran demi lembaran yang kubutuhkan. Di antara pemotretan, kepala desa menceritakan sedikit kondisi desanya, juga kondisi dirinya yang ternyata baru saja diangkat menjadi kepala desa. Wah, kisah desanya cukup miris, semiris diriku ditelan asap rokok yang ternyata anaknya masuk ke ruangan menemani ayahnya juga sambil merokok. Jangan lupa, ruangannya tertutup! Dimaklumi sih, banyak perokok di Situbondo karena ada kebun tembakau tersebar di Situbondo. Eh, kisah mirisnya seperti apa?

Jalan rabat yang mulus tadi masih belum selesai. Masih perlu banyak peningkatan jalan untuk mempermudah akses menuju pasar Widoro Payung, SMP, dan tempat pelayanan lainnya. Suatu kali pernah ada warga yang sakit. Ia pun terpaksa menggotongnya dan wafat dalam perjalanan. Ada sih jalan lain yang lebih dekat dengan pusat pelayanan, hanya saja, perlu melewati jembatan kayu yang harus berhati-hati melewatinya. Itu pun tidak ke Kab. Situbondo, tetapi ke Kab. Bondowoso!

Setelah bercerita dan tanya jawab, akhirnya aku berhenti menjadi perokok pasif. Kuucapkan terima kasih, juga bertukar nomor ponsel. Ekspresi kepala desa sangat terlihat senang dengan kedatangan tamu. Ia sangat berharap desanya bisa berubah. Aku pun berpamitan dan naik motor agak butut untuk kembali ke kantor kecamatan. Sebelum keluar dari balai, eh ada kembang desa sedang beli sate. Tiba-tiba aku berdebar. Aku nggak lihat wajahnya sih, sepintas ia memakai kerudung dan rok, busana syar'i yang baru pertama kutemui di desa. Abaikan. Aku harus balik sebelum gulita menyertai perjalananku.

Akhirnya keluar juga dari jalan terjal. Abang ojek tadi mengantarkanku sampai ke kecamatan karena sudah dibayar lebih oleh kepala desa yang baru saja kutemui. Sesampainya di kantor kecamatan, kusampaikan terima kasih ke abang ojek, Aku segera menemui petugas kecamatan untuk berpamitan. Lagi-lagi keramahan tampak di sini. Sebelum pulang, aku sedikit dipaksa untuk mampir di rumahnya. Namun karena aku belum berani melewati pantura di malam hari, kutolak dengan halus sesuai dengan kekhawatiranku. Cus deh.

21 KM dari Kecamatan Sumbermalang ke Kecamatan Besuki, 41 KM kemudian menuju pusat Kabupaten Situbondo, tempatku menginap. Apa selanjutnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar