Kamis, 18 Mei 2017

Ilmu Manipulasi Statistik

Bismillah

Tulisan ini tidak dikarenakan kehadiran orang statistika dalam posisi yang baru saja selesai beberapa hari lalu secara de facto. Namun, tulisan ini dikarenakan terusik kembali dengan adanya diskusi yang mengabarkan tentang kondisi perekonomian di Indonesia.


Beberapa tahun yang lalu, ada forum warga dari himpunan jurusanku membahas persyaratan calon ketua himpunan. Ada satu poin yang membuat forum itu bertahan hingga hampir 3 hari. Ya, hampir tiga hari membahas poin yang sama: syarat akademik.Bagi himpunan lain, syarat akademik mungkin terdengar memberatkan. Banyak mahasiswa dari himpunan lain terkejut ketika mendengar syarat akademik yang satu ini: memiliki IPK minimal 3.39. Bagi mahasiswa di kampusku sangat mungkin terkejut mendengar persyaratan ini, mengingat betapa sulitnya mendapatkan nilai 3 pada kebanyakan jurusan.



Forum pun berjalan begitu riuh. Kadangkala emosi muncul dari pihak yang tidak setuju akan persyaratan tersebut. Muncul argumen-argumen yang terkesan dipaksakan. Tidak berpengaruh terhadap kepemimpinan, kebanyakan jurusan lain memiliki syarat yang jauh lebih rendah, dan argumen-argumen lain. Namun bagi yang setuju terlihat begitu tenang karena memiliki jawaban yang tidak bisa dibantah: Ini hasil dari rata-rata IPK dari jurusan ini. Mau calon yang lebih cerdas dari kalian atau tidak? Apabila dibantah dengan kondisi dosen yang memberi nilai berbeda-beda, muncul bantahan balik, ini sudah hasil rata-rata mahasiswa keseluruhan, bukan sampel. Salah satu argumen yang terekam dalam ingatan, tetapi diabaikan oleh peserta forum karena sebatas asumsi adalah: statistik bisa dimanipulasi.

Bukan bermaksud merendahkan profesi statistik, meskipun dulu sekali aku mencegah salah satu temanku untuk masuk ke kampus statistik atau jurusan statistik dengan kalimat, statistik nggak ada gunanya buat masyarakat. Saat mempelajari statistika di semester pertama perkuliahan pun juga masih mempertanyakan, ini buat apa ya? Namun, pertanyaan itu perlahan-lahan terjawab dimulai dari tanya jawab mengenai MBTI di akhir semester itu. Salah satu frasa yang muncul saat itu adalah "kurva normal". Apa maksudnya kurva normal?

Semenjak kemunculan kembali frasa kurva normal, aku memahami ulang mata kuliah yang belum usai di semester itu. Aku tak begitu mengingat dengan siapa aku duduk-duduk di serambi MMI. Jelasnya, aku meminjam buku 500an halaman karena aku memang tak punya. Alhamdulillah, sejak itu aku memahami maksud distribusi normal dari kurva normal. Semakin lama, aku semakin memahami bahwa ilmu statistik sangat dibutuhkan dalam penarikan kesimpulan penelitian induktif.

Beberapa jam yang lalu, aku menyimak diskusi mengenai perilaku elit pemerintahan dalam perekonomian di warung. Salah satu bahasannya adalah maksud dari data-data BPS (Badan Pusat Statistik). Banyak dijumpai elit pemerintahan menyebutkan data-data PDB dalam indikator perekonomian. Benarkah seperti itu? Sangat disayangkan aku tak mencatat satupun dari diskusi. Tulisan-tulisan mengenai pembahasan itu juga belum kutemukan, bahkan sekadar mengetahui kata kuncinya saja.

PDB merupakan singkatan dari produk domestik bruto, atau jelasnya adalah total nilai produk yang dihasilkan di Indonesia. Nilai produk ini tidak mempermasalahkan apakah diproduksi oleh kemandirian atau oleh asing. Sementara PNB (produk nasional bruto) adalah kebalikan dari PDB. PNB memperhatikan kemandirian dalam produksinya. Nah, kita belum pernah mendengar elit pemerintah menyebutkan PNB dalam pidatonya bukan? Entah atau aku yang kurang memperhatikan.

Masih dalam PDB, komponen yang kuingat dari kuliah adalah CGIX-M, merupakan gabungan dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor serta impor. Saat membahas PDB dalam perkuliahan, ada banyak hal yang kurasa istilah PDB tidak begitu merepresentasikan isinya. Tidak perlu dibahas di sini, karena cukup panjang untuk membahasnya. Jelasnya, diskusi saat itu membahas pencatatan dalam BPS oleh Kwik Kian Gie, ekonom senior Indonesia.

Di awal kepengurusan Presiden SBY pernah terjadi kemerosotan industri manufaktur karena kalah bersaing dengan China, tetapi PDB naik. Terjadinya kenaikan PDB ini disebabkan adanya kenaikan produksi pada pertambangan. Kita sendiri tahu bahwa pertambangan banyak yang dikuasai asing, kita hanya mendapatkan sedikit royaltinya. Banyak kekayaan yang dibawa keluar, tapi BPS mencatatnya sebagai ekspor.

Kwik Kian Gie menyebut Mafia Berkeley melakukan banyak penipuan dengan mengubah maksud dari istilah-istilah. Hutang disebut pemasukan pembangunan. Saat terjadi kenaikan harga minyak dunia, pemerintah harus menaikkan harga minyak dalam negeri karena bisa menambah subsidi negara. Kita memahami subsidi sebagai bantuan dari negara bukan? Namun kenyataannya subsidi yang dimaksud adalah harga minyak dalam negeri lebih murah dari harga dunia, bukan berdasarkan dari harga pokok produksi dalam negeri.

Ilustrasi untuk memudahkan pemahaman subsidi seperti ini. Aku memproduksi tahu isi seharga enam ratus rupiah per tahu, dijual ke warungku seharga seribu rupiah. Namun karena harga jual tahu isi di warung-warung lainnya naik menjadi dua ribu rupiah per tahu, kalau aku enggak menaikkan harga jual, berarti aku memberi subsidi tahu isi buat pelanggan di warungku. Gila bukan?

Lebih lanjut kata Kwik Kian Gie, ekonomi kita stabil itu ibarat orang yang koma. Apabila diperiksa kondisinya, semuanya terlihat normal. Tekanan darah, gula darah, dan masih banyak lagi, terlihat normal. Namun, kalau orang ini disuruh berdiri, dia akan ambruk. Seperti itulah kondisi ekonomi kita.

Eh, kembali lagi ke ilmu statistik. Mengingat secuil fakta di BPS (masih banyak fakta lain sewaktu menyelami dunia BPS), ada banyak hal yang perlu dibenahi. Ilmu pengetahuan itu memang sejatinya netral, akan berubah bergantung siapa yang menggunakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar