Selasa, 28 Agustus 2018

Last Day Camp

Bismillah

Alhamdulillah, kemarin sudah hari ke 50 (atau ke 41) kemp semi konsentrasi. Terima kasih kepada 300an kawan yang tak berhasil kukenal satu per satu. Terima kasih spesial buat kawan segala usia atas lika-liku kehidupan laiknya pecel tradisional, ada segar, ada pahit, ada pedas. Ada tawa, ketegangan, dan kebijaksanaan.

Tak lupa segenap warga yang turut menyambut kami untuk menetap puluhan hari. Ramahnya terasa meresap hingga setiap gigitan makanan dan tegukan minuman yang terhidang secara acak sebelum matahari terbit atau sesudah matahari tenggelam.

Tak ada perpisahan, yang ada hanya pertemuan yang tertunda. Biarlah jarak memisahkan kita, karena jarak diperlukan untuk menciptakan kerinduan. Semoga kita tak melupakan pengalaman bersama kita untuk pengamalan sehari-hari menuju bumi Indonesia yang lebih bermartabat.

Minggu, 26 Agustus 2018

Eksis

Bismillah

Beberapa hari yang lalu aku membaca kisah seorang tawanan Nazi yang menceritakan kondisi orang-orang dalam kamp konsentrasi sebelum hingga sesudah penahanan.

Kamis, 12 Juli 2018

Benturan Budaya: Islam dan Jawa

Bismillah

Beberapa malam yang lalu aku menyempatkan diri menonton atraksi wayang kulit semalam suntuk. Enggak sepenuhnya sih, di tengah-tengah aku sempat memilih tidur karena ada inappropriate content. Wayang kulit identik dengan kebudayaan Jawa tingkat tinggi karena memang bahasa yang digunakan adalah Jawa Krama. Tidak semua orang bisa bahasa itu.



Kamis, 14 Juni 2018

Masyarakat Buta Memimpin Dunia (4)

Bismillah

Apabila bahan-bahan ilmiah dalam tulisan braille ini tidak mencukupi, mereka seperti orang-orang buta yang separuh buta yang mereka kagumi itu. Mereka diminta orang-orang lain membacakan untuk mereka...

Beberapa individu dari kumpulan bermata dua yang begitu rendah rasa jati dirinya dan gila akan pengakuan golongan buta dan sanggup membuktikan pengorbanan paling tinggi. Dengan bantuan sistem perobatan tercanggi dan dari pendanaan bantuan golongan buta dan separuh buta, mereka mencungkil sendiri kedua biji mata mereka. Sebagian yang lain dan kurang berani, hanya sanggup mencungkil sebiji matanya saja. Mereka ada yang bertongkat dan ada pula yang menggunakan perbutan anjing. Justru karena mereka masih berada dalam alam gelap dan separuh gelap, mereka kerap terjatuh dan tersasar, tidak seterampil guru-guru mereka yang memang telah sehati dengan kegelapan dan separuh gelap.

Seluruh golongan masyakakat buta dan separuh buta memuji keberanian mereka ini. "Inilah pahlawan-pahlawan sesungguhnya yang harus dicontoh, diberikan ruang, dan segala bantuan! Kita akan masuk ke lubang biawak mencari kebijaksanaan baru, ayo... cepat jangan ketinggalan!" Orang-orang ini telah lama dikisahkan oleh salah seorang mahaguru bermata dua yang tajam penglihatannya, sedang si buta, dengan lilin sebatang mencari mentari di siang hari...

(selesai)

Tulisan ini diambil dari Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud. M.A
S1 Ilmu Pengetahuan Alam
S2 Kurikulum dan Pengajaran (Universitas Illiniois Utara, AS)
Ph.D Pemikiran Islam (Universitas Chicago)
Mantan Wakil Direktur Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC), Universitas Islam Antarabangsa Kuala Lumpur, Malaysia

Sabtu, 09 Juni 2018

Masyarakat Buta Memimpin Dunia (3)

Bismillah

Dampak golongan berpengaruh dalam suatu masyarakat atas pandangan alam dan amal perbuatan manusia di dalam masyarakat itu amat kuat walaupun sikap itu jelas bertentangan dengan pandangan akal sehat dan betapa pun besar penderitaan lahir dan batin yang terhasil dari sikap dan perbuatan yang berpengaruh itu.

Ada sebagian masyarakat insani yang membudayakan bahwa wanita cantik dan menarik itu ialah mereka yang diikat dan dikerdilkan kedua belah kakinya (feet binding). Wanita yang berkaki biasa dianggap bodoh dan tidak berperadapan. Ada sebagian masyarakat lain yang menganggap bahwa wanita yang cantik dan menawan adalah yang kurus, semakin kurus semakin menawan. Akibatnya pelbagai penyakit timbul, seperti anorexia nervosa dan obsesi menjaga berat badan yang bertentangan dengan kesehatan. Wanita yang tidak kurus dianggap tidak menawan. Ada juga yang menganggap lelaki yang berani dan gagah adalah mereka yang memiliki bekas goresan di pipi dan bagian-bagian tubuhnya atau yang menajamkan gigi.

Beberapa cendekiawan buta secara terpisah, mengkaji seekor gajah lalu menerbitkan penyelidikan ke seluruh institusi pendidikan tinggi dunia termasuk di dunia bermasyarakat bermata dua dan yang buta satu. Kajiannya ilmiah yang disertai catatan kaki yang panjang dalam pelbagai bahasa. Satu kajian yang dilangsungkan selama beberapa tahun dengan menyentuh, memeluk, menghirup, dan menjilat ekor si gajah itu merumuskan bahwa sesekor gajah sebenarnya bukan yang dikatakan oleh cendekiawan bermata dua selama ini. Gajah sebenarnya seperti seuntai tali yang berambut panjang di hidungnya, bergerak dengan sendirinya, baunya busuk karena berdekatan dengan buntut.

Kelompok yang lain pula setelah mengkaji kaki gajah merumuskan bahwa gajah itu sesungguhnya seperti tiang rumah atau batang pohon yang agak besar. Kelompok lain menafikannya dengan merumuskan bahwa gajah seperti sebuah dinding berbulu. Ada pula yang mengkaji belalai gajah dan menetapkan secara empiris dan saintifis bahwa gajah sesungguhnya seperti selang air yang bergerak-gerak.

Setiap kali penemuan-penemuan baru ini diterbitkan, perusahaan-perusahaan penerbitan dalam masyarakat bermata dua cepat-cepat menerjemahkannya, dosen-dosen di universitas sibuk menyebarkan ajaran baru yang berani dan radikal ini. Para pengkaji buta itu diundang untuk memberi kuliah di hadapan ratusan mahasiswa bermata dua yang selalu melihat gajah di sekitar lingkungan mereka.

Segala sikap dan perbuatan masyarakat yang buta dan bermata satu diusahakan untuk ditiru oleh seluruh masyarakat lain, termasuk yang bermata dua dengan dua cara. Pertama, dengan cara mengadopsi secara mudah karena ternyata popular, kedua yang sedikit rumit adalah dengan mencari justifikasi dari sumber-sumber agama, budaya, serta tradisi masyarakat. Hujjah yang sering digunakan pun ialah hujjah apologetis. Kita harus menerima perkara ini karena terdapat dalam ajaran agama, budaya, dan tradisi kita dalam bentuk yang agak primitif.

Golongan yang bermata dua, tanpa cacat penglihatan, kini menggunakan tongkat untuk berjalan dan banyak juga yang menggunakan anjing terlatih. Banyak orang bermata terang tidak lagi mau membaca dengan penglihatan, malah disebut sebagai cara kolot dan cara mereka yang belum matang dan dewasa, yang tidak mau maju dengan mempelajari kaidah baru. Lalu mereka, dengan bangga menepikan semua sumber bacaan tradisional tertulis dan mempelajari braille. Mereka dengan mudah menggunakan contoh Nabi Muhammad saw. dengan mengatakan bahwa Nabi Agung pun tidak membaca tulisan! Bibit-bibit tidak membaca tulisan berhuruf memang terdapat dalam ajaran agama kita dari dahulu...!

(bersambung, in shaa Allah)

*tulisan ini merupakan lanjutan dari postingan google plus

Sabtu, 19 Mei 2018

Keluarga Besar

Bismillah

Sejak pengajaran keluarga besar kelas 1 SD aku tak paham. Apa itu paman, apa itu bibi. Padahal aku sudah bertanya beberapa kali, dijelaskan beberapa kali dengan diagram, aku tetap tak paham.

Pada saat seleksi olimpiade sains komputer tingkat kota, ada sebagian soal logika yang membahas tatanan keluarga. Aku saat itu hanya paham siapa itu ayah, ibu, anak, kakak, adik, kakek, nenek, paman, bibi, suami, istri. Ketika muncul kata sepupu dan keponakan, buyar tatanan logikaku dalam hal keluarga. Hasilnya, seluruh soal yang membahas tatanan keluarga, aku salah semua, dan tak lolos seleksi.

Mengenai paman dan bibi, aku merasa terganggu dengan dua istilah ini. Paman memiliki sinonim kata om, bibi memiliki sinonim kata tante. Seringkali kita bertemu dengan orang tua teman kita, lalu kita memanggil orang tuanya dengan sebutan tante dan om. Itu melanggar logikaku. Padahal jelas-jelas dari keluarga yang berbeda, tidak punya kakek atau nenek yang sama, tetapi seringkali dipanggil tante dan om. Ada apa ini?

Beberapa bulan yang lalu, aku membaca komik Chinmi, ditulis oleh Takeshi Maekawa (Jepang), bercerita mengenai bela diri China, dengan bahasa pengantarnya Bahasa Inggris karena daring. Suatu ketika Chinmi berhasil memasuki daerah tertutup yang Kaisar dari pusat kerajaan penasaran dengan kondisinya. Chinmi menginap di rumah seorang penjahit yang baik sehingga tak hanya memberi Chinmi penginapan, tetapi juga makanan. Chinmi pun berterima kasih kepadanya dengan kata-kata "Thanks Aunty".

Sejenak pembacaanku terhenti. Jangan-jangan ini memang bagian dari budaya ketimuran. Aku pun tersadar bahwa penyebutan Bu ataupun Pak kepada orang tua teman kita itu terlalu formal. Sebutan itu lebih cocok untuk rekan kerja yang lebih senior daripada orang tua teman sendiri.

Namun, penasaranku masih belum hilang. Darimanakah menyebut orang tua teman sendiri dengan sebutan om dan tante? Apakah istilah itu dipopulerkan oleh MTV yang Jakarta-sentris? Mengapa kita tidak menggunakan kata paman dan bibi saja?

Sabtu, 05 Mei 2018

Nasihat The Legend Pak Edi

Bismillah

Jumat yang lalu aku melakukan shalat Jumat di Masjid An Nur yang sekarang sudah berbeda dibanding 5 tahun yang lalu. Masjid penuh kenangan itu sekarang lebih bersih, indah, dingin, dan tempat wudhunya ada di lantai 2. Tapi bukan itu yang menarik. Menariknya adalah Jumatan kali ini dihadiri The Legend Pak Edi. Guru Agama Islam paling senior yang kami ketahui itu maju menjadi khatib Jumat. Ada salah satu nasihat menarik dari ceramah beliau. Aku ubah sedikit gaya bahasanya, intinya sama.