Kamis, 22 Februari 2018

Kita Butuh Kopi

Bismillah

Belajar memahami untuk perdamaian dunia

Aku masih ingat beberapa tahun yang lalu ketika kami ditanya, apa makna dibalik kata perang? Rata-rata kami menjawab bertemunya dua golongan atau lebih dalam konflik senjata. Namun beliau tidak mengiyakan atau menihilkan jawaban kami. Beliau membalas, perang adalah jalan terakhir menyelesaikan permasalahan. Siapa yang menang, dialah yang benar. Siapa yang kalah, dialah yang salah. Tentu, kalimat ini muncul dari cara berpikir sekuler yang tidak melibatkan dunia metafisik (agama). Lalu, apa makna dibalik kata perang yang tidak sekuler? Aku tak begitu yakin, mengingat qital (perang) adalah satu dari trilogi jihad, sedangkan jihad adalah puncak dari bangunan Islam. Sementara aku, masih harus banyak mempelajari pondasi dan bangunan di bawah puncaknya.

---

Alhamdulillah, sewaktu SMA aku dipertemukan dengan manhaj salaf, jalan memahami agama melalui 3 generasi terbaik. Ibarat air mengalir, semakin ke muara, semakin keruh airnya. Semakin ke mata air, semakin jernih airnya. Itulah perumpamaan yang kuterima dalam memahami manhaj salaf. Mengikuti jalan ini tidaklah mudah, karena jalan ini mengupas berbagai kesalahan yang biasa dilakukan masyarakat dengan argumen-argumen yang logis tapi memiki dasar yang kuat (Al Quran dan As Sunnah). Akhirnya bersabarlah menghadapi tuduhan-tuduhan dari yang merasa disalahkan. 

Ketika ada pertanyaan dari adik kelas, "Mas, kan sekarang ada banyak ustadz, gimana caranya kita tau ustadz yang benar?" Aku tak bisa langsung menjawab dengan ustadz yang begini atau begini, mengingat aku tak mengetahui pemahaman dari yang bertanya. Aku menjawab, "Ikuti saja semua ustadz dan tahanlah (bersabarlah). Insya Allah kita bakal tahu mana yang benar dan mana yang salah." Aku refleks menjawab seperti itu memang itulah pengalamanku, sebagaimana yang kutulis di laman pengenalan.

Tahun pertama kuliah, aku jadi lebih sering ikut kajian, karena dunia kampus lebih banyak waktu luang dibanding masa-masa di bangku sekolah. Hanya saja, aku berangkat sendiri, mungkin hanya mengajak satu orang yang dekat denganku sesekali, yaitu SC-ku. Paruh kedua tahun pertama aku mulai mencari teman dalam ketaatan tingkat kampus. Jalur yang kutempuh saat itu adalah melalui lembaga dakwah kampus. Dalam perjalanannya, aku bertemu dengan sebuah kenyataan yang tak bisa ditolak, dunia ini beragam. Hanya saja, kebanyakan dari mereka adalah teman-teman yang berkecimpung di dunia tarbiyah. 

Aku begitu dekat dengan dunia tarbiyah. Dari segi akidah, aku merasa tak ada yang berbeda. Dari segi ibadah juga mirip, meski ada beberapa amalan yang kadang aku menghindar. Yang paling berkesan adalah suasana ukhuwah. Kami sudah menjadi teman dekat, padahal baru satu dua bulan mengenal. Kalau mem-bully tak ada yang terhina, kalau mengingatkan tak segan, kalau diingatkan berterima kasih.

Saat liburan semester, aku mendengar pesma salaf di dekat kampus membuka program Bahasa Arab. Di pesma itu, aku bertemu dengan mahasiswa dari berbagai daerah, jurusan, angkatan, bahkan strata pendidikan. Aku belajar Bahasa Arab di sana tiap akhir pekan. Hanya saja, terlibat dalam lembaga dakwah kampus membuatku tersendat-sendat dalam belajar hingga kandas di tengah jalan.

Ada satu hal menarik yang kudapati dari percakapan dengan salah satu mahasiswa pesma yaitu, "Jangan dekat-dekat sama lembaga dakwah kampus, kebanyakan mereka mengikuti IM. Akidahnya sesat." Aku hanya mengangguk-angguk sambil tercengang dalam hati. Darimana beliau menyimpulkan itu? Padahal aku menyaksikan kawan-kawanku yang ada di lembaga dakwah kampus menggunakan akidah dari sumber yang sama. Seketika aku teringat dengan kajian-kajian akidah salaf di Surabaya. 

Memang, ada sebagian pembahasan yang aku merasa sangsi di dalamnya, yaitu ketika membahas kelompok lain yang aku mengetahui kelompok tersebut. Aku merasa ada beberapa pembahasan yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Memang, aku tak begitu risau karena aku menggunakan "ikuti semua dan tahan", tapi aku tak menyangka bahwa dampaknya sampai ke akar rumput.

Ya, aku merasa banyak permasalahan seputar ini di mana-mana. Satu kelompok menuduh kelompok yang lain. Ketika kuajak ayo ikut langsung ke kajian untuk mendengar secara langsung, menolak. Apa-apaan ini? Ketika aku tanyakan darimana sumbernya, hampir semuanya mengatakan kata fulan dan fulan. Memang, ada yang menjawab, aku menyaksikannya sendiri, tetapi informasi yang diterima tak utuh, hanya menyimak secuplik kejadian lalu menggunakannya sebagai kesimpulan.

Aku rasa permasalahan perpecahan di antara saudara-saudara kita karena masalah sederhana. Kita belum duduk bareng, tetapi sudah mengedepankan rasa curiga. Kita kurang duduk bersama bertukar pikiran sambil menyeruput hangatnya kopi. Kalau kita tidak belajar memahami, bersiap-siaplah tidak ada perdamaian di antara kita. Ingatkah kita dengan kisah muamalah para imam madzhab?


-jangan lupa, Al Aqsa menanti pembebasan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar