Bismillah
Terima kasih buat salah satu temanku yang mau-maunya membuka blog ini lalu mengomentari sebagian isinya. Sebelumnya aku menuliskan
kedudukan manusia di bumi. Sebagian isinya memang mengarah ke masalah takdir, tapi tujuan penulisan itu bukanlah mengarah ke sana, tetapi mengarah ke usaha-ikhtiyar. Mohon maaf sebelumnya, masalah takdir baru kutulis saat ini mengingat pembahasan takdir memang membawa masalah: minimal bingung, maksimal sesat, kata Ust. Mudzoffar. Alhamdulillah, tadi bertemu Ust. Muhammad Nur Yasin yang membahas takdir. Ada beberapa pemahaman yang baru kuterima, pemahaman yang akan memudahkan kita untuk memahami masalah takdir.
Mengenai takdir Allah ada 4 hal:
1. Allah Maha Mengetahui
2. Allah mencatat
3. Allah menghendaki
4. Allah menciptakan
Allah Maha Mengetahui, IlmuNya meliputi segala sesuatu, baik yang dzohir maupun batin, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi, baik maupun yang buruk. Segala sesuatunya telah Allah catat melalui QalamNya hingga hari kiamat [1]. Pena sudah terangkat dan kering sudah kertas. Artinya Allah sudah menetapkan takdir tersebut pada
lauhul mahfudz. Tidak akan mati orang yang ditakdirkan masih hidup, dan tak akan berumur panjang orang yang ditakdirkan akan segera mati. Lalu, bagaimana dengan bunuh diri?
Allah memang menghendaki segala sesuatu, hanya saja tidak segala sesuatu Allah kehendaki secara syar'iyah. Ada hal-hal yang Allah kehendaki secara kauniyah. Seseorang mati bunuh diri itu karena kehendak Allah secara kauniyah, secara kausalitas, secara sebab akibat. Namun, Allah tidak menghendaki perbuatan tersebut secara syar'iyah. Lalu, apakah Allah bersalah telah menghendaki keburukan pada seorang hamba? Tentu tidak. Allah tidak menghendaki seseorang untuk meninggal dengan cara yang tidak syar'i. Untuk memudahkan pemahaman, ibarat orang yang membunuh orang lain dengan pisau yang dibuat oleh seorang pandai besi. Apakah pandai besi dihukum karena membuat pisau? Tidak, karena pandai besi tidak membuat pisau untuk membunuh manusia, tetapi untuk menyembelih hewan.
Masalah takdir, kita tentu memahami bahwa takdir itu sudah ditetapkan di awal. Apakah takdir bisa berubah? Apabila seseorang mengatakan bahwa takdir bisa berubah, maka ia menuduh Allah salah karena Allah tidak mengetahui apa yang akan terjadi,
na'udzubillah dari pemikiran tersebut. Lalu, bagaimana dengan perintah Allah untuk berdoa dengan hadits "tidak ada yang bisa mengubah takdir kecuali doa [2]" atau "apabila kalian ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali silaturahmi [3]"? Ust. Yasin menjelaskan, ada takdir yang dikaitkan dengan ikhtiar. Takdir-takdir yang tidak berkaitan dengan dosa dan pahala, sebagian berkaitan dengan ikhtiar, seperti umur dan rizki. Sementara takdir-takdir yang berkaitan dengan dosa dan pahala, berkaitan dengan ikhtiar. Semuanya memang sudah tertulis, tetapi pilihan-pilihan itu tetap ada untuk manusia. Sebagian ulama berpendapat, takdir yang berubah maksudnya adalah pengetahuan yang ada pada Malaikat, bukan pada
lauhul mahfudz.
Allahu a'lam.
Apabila takdir-takdir yang berkaitan dengan dosa dan pahala memiliki kaitan dengan ikhtiar seseorang, lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan adanya seorang hamba yang melakukan amalan ahli surga hingga antara dirinya dan surga tinggal sejengkal (dan sebaliknya) [4]? Hadits tersebut seolah-olah mengabarkan kepada kita bahwa Allah memaksakan kehendakNya pada urusan dosa dan pahala. Jika memang demikian, maka Allah telah berbuat dhalim kepada manusia [5].
Na'udzubillah dari pemikiran tersebut. Padahal Allah telah menjelaskan dalam salah satu hadits qudsi, "Sesungguhnya Aku haramkan pada diriKu untuk berbuat dhalim, maka Aku jadikan haram pula berbuat dhalim di antara kalian." Allah tidak mungkin dhalim. Maksud hadits tersebut adalah dalam pandangan manusia, seseorang melakukan amalan ahli surga, tetapi Allah Mahatahu dan Mahaadil, apakah dia melakukan amalan itu ikhlas karena Allah atau karena yang lain.
Sekiranya masih bingung, sebaiknya tanyakan masalah takdir ini pada ustad yang lebih mumpuni, karena sekali lagi membahas takdir itu minimal bingung, maksimal sesat. Padahal takdir adalah salah satu rukun Islam yang apabila kita mengingkarinya, maka bersiaplah tidak menjadi umat Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam.
[1] HR. Abu Dawud
[2] HR. Tirmidzi
[3] Muttafaq 'alaih
[4] HR. Bukhari dan Muslim
[5] HR. Muslim