Rabu, 02 Agustus 2017

Istikhlaf, Manusia dan Khalifah

Bismillah

Di mata kapitalisme, manusia berkedudukan di tempat paling tinggi di dunia ini. Apabila dunia ini diibaratkan segitiga, maka manusia berada di puncak segitiga. Apabila dibuat rantai makanan, maka manusia berada di puncak rantai makanan, di atas hewan-hewan karnivora. Berbeda dengan environmentalis. Apabila dunia ini diibaratkan lingkaran, maka manusia berada di antara lingkaran. Manusia dan lingkungan adalah hal yang saling menjaga. Jika alam rusak, maka rusak pula manusia. Apabila rantai makanan terputus, terancamlah manusia. Lalu, bagaimana kedudukan manusia dalam Islam?




Mengingat kembali bab pertama pelajaran Agama Islam di tahun pertama SMA. Masih ingat? Bab itu membahas peran manusia di bumi. Sangat jelas, disebutkan secara semi-eksplisit dalam pembahasan itu. Manusia adalah khalifah di muka bumi, sebagaimana dijelaskan pada surat Al Baqarah ayat 30. Apa sih khalifah itu?

Khalifah dalam bahasa Arab berarti pengganti. Pengganti siapa? Penjelasan itu menuai banyak pertanyaan. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebelum manusia diciptakan, ada makhluk sejenis manusia pernah menghuni bumi. Melihat bukti-bukti arkeologi memang ada peradaban asing sebelum Nabi Adam sebagaimana yang terjadi di Baalbek atau Elephantine. Namun, informasi itu tak dijelaskan sama sekali dalam Al Quran, seperti apa kehidupannya, amalannya, dll. Hanya disebutkan kaum Tsamud, Aad, dan kaum-kaum lain yang muncul dari keturunan Nabi Adam. Ada penjelasan lainnya.

Apabila dikatakan manusia sebagai pengganti Allah di muka bumi, maka akan muncul pertentangan baru. Pertentangan itu muncul karena Allah adalah pencipta dari segala sesuatu dan Dia-lah yang Maha Menguasai segala sesuatu. Memang, Allah Maha Menguasai segala sesuatu, tetapi kalimat ini muncul juga pertentangan baru. Apabila Allah Maha Menguasai segala sesuatu, maka manusia tidak memiliki kuasa bahkan untuk dirinya sendiri. Apabila manusia tidak memiliki kuasa, maka yang terjadi adalah fatalisme. Apabila fatalisme terjadi pada manusia, maka beres sudah kehidupan manusia. Tidak ada yang perlu dilakukan, "Serahkan semuanya kepada takdir." Apabila fatalisme terjadi pada umat Islam, maka yang dikatakan oleh umat Islam ketika dijajah adalah, "Tak usah risau, Allah pasti memenangkan hamba-hambanya yang shalih." Tentu bukan pemahaman yang seperti ini bukan? Lalu seperti apa?

Manusia sebagai pengganti Allah di muka bumi adalah pemahaman yang tidak meniadakan kekuasaan Allah, karena memang Allah memberi kuasa kepada manusia di muka bumi. Dengan kuasa itu, barulah manusia bisa mengelola bumi. Bukankah Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubah keadaan mereka sendiri? Manusia sebagai pengganti Allah di muka bumi adalah pemahaman yang tidak meniadakan kekuasaan Allah, karena memang Allah memberi kemerdekaan kepada manusia di muka bumi. Jika manusia tidak diberi kemerdekaan, bagaimana bisa bumi saat ini menjadi rusak? Bukankah manusia diberi kebebasan untuk memilih mana yang buruk dan mana yang baik? Pemahaman seperti ini memancing pertanyaan baru, "Bukankah ini pemahaman Kristen mengenai proses penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari?" Tentu bukan pemahaman seperti itu.

Allah, tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, Yang Mahahidup lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Allah tidak beristirahat berlepas tangan setelah menciptakan makhluk-Nya, tetapi Dia mengatur segala urusan dari Arsy-Nya. Bagaimana mungkin Allah berlepas tangan dari makhluk-Nya, sementara Allah mengabulkan setiap doa para hamba-Nya yang beriman? Inilah kedudukan manusia di muka bumi.

Manusia mendapatkan kedudukan istimewa di muka bumi karena memiliki kemerdekaan untuk memilih, berbeda dengan malaikat yang selalu bertasbih memuji-Nya. Manusia mendapatkan kedudukan istimewa di muka bumi karena memiliki kemampuan untuk mengelola bumi ini, berbeda dengan hewan atau tumbuhan yang tak mengenal teknologi. Ya, manusia memang memiliki keistimewaan itu, tetapi bukan berarti manusia mendapatkan kebebasan untuk melakukan apa saja. Justru dengan keistimewaan itu manusia mendapatkan amanat untuk memakmurkan bumi dengan beban syariat yang langit dan gunung-gunung pun enggan memikulnya. Manusia diberi kebebasan untuk mengatur urusan-urusannya dengan rambu-rambu syariat dan diminta pertanggungjawaban atas kebebasannya. Inilah istikhlaf, manusia menjadi khalifah di muka bumi. Lalu, bagaimana dengan kekuasaan Allah?

Sekali lagi, manusia diberi kuasa untuk mengelola bumi berdasarkan rambu-rambu syariat yang harus dipertanggungjawabkan di hari akhir. Manusia hanya mendapatkan amanat itu, bukan berarti manusia pemilik bumi. Dia-lah pemilik bumi sesungguhnya, dan Dia pula yang menguasai kejadian-kejadian di bumi, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Waqiah:


 (أَفَرَءَيۡتُم مَّا تُمۡنُونَ (٥٨)ءَأَنتُمۡ تَخۡلُقُونَهُ ۥۤ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ (٥٩
"58. Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? 59. Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?"

Manusia memang memiliki kuasa untuk mengelola bumi, tetapi bagaimana bumi bekerja, itu menjadi kekuasaan Allah. Manusia tidak bisa menumbuhkan benih, manusia hanya menanamnya, menyiraminya, dan memberinya pupuk. Apakah ada jaminan benih itu akan tumbuh? Itu menjadi kekuasaan Allah.

Apabila dilihat sepintas, konsep kedudukan manusia di muka bumi dalam Islam tidak bertentangan dengan kapitalis, tidak bertentangan pula dengan environmentalis. Konsep-konsep dalam Islam memang tidak lahir dari pertemuan budaya yang terjadi dalam sejarah manusia, tetapi lahir dari wahyu Allah melalui para Nabi-Nya. Pertanyaannya, sudah sejauh mana kita sebagai manusia mengemban amanat yang berat itu?

Referensi
[1] I. Muhammad, (1998, November). Perang Terminologi Islam versus Barat (Cetakan 1). [Online]: https://emilanakhosy.files.wordpress.com/2011/01/perang-terminologi-islam-versus-barat-muhammad-imarah1.pdf [Juli 2017].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar