Selasa, 02 Agustus 2016

Dilema Pembangunan karena Salah Paham

Bismillah

Diskusi malam tadi membuka lembaran ingatan yang terlipat-lipat. Tiap orang tentu ingin sehat bukan? Hanya orang yang putus asa yang berharap jadi orang sakit, atau bisa jadi sebagai bentuk perlawanan mereka yang tertindas supaya tak diperalat mereka yang punya kuasa (curcolan buruh). Entah seorang anak kecil, orang yang agak gede, dewasa, terlebih lagi sudah sepuh.

Indeks pembangunan manusia (IPM) atau bahasa Inggrisnya human development index (HDI) adalah indeks buat mengetahui kualitas manusia di suatu wilayah. Aspek yang dinilai itu ada tiga: tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan tingkat kesejahteraan, intinya itu. Nah, waktu aku ikut mata kuliah statistik di awal semester, tingkat kesehatan itu diukur lewat angka harapan hidup, berapa rata-rata usia orang dalam suatu wilayah. Salah pahamnya dimana?



Langsung aja, salah pahamnya itu sewaktu melihat tingkat kesehatan suatu wilayah menurun, muncul proyek pembangunan rumah sakti. Eh, rumah sakit, atau ditambah juga pembantunya berupa puskesmas. Orang yang berpikiran seperti ini belum memahami antara masalah dan penyebabnya. Padahal kalau dirunut, angka harapan hidup rendah bisa jadi karena gizi buruk, kerusuhan, tekanan hidup, dll. Alhamdulillah, tahun 2004 Badan Standardisasi Nasional menerbitkan Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan. Misalnya, posyandu baru boleh dibangun baru kalau sudah melebihi 1.250 penduduk dalam radius 500m.

Salah paham pula kalau buat meningkatkan angka harapan hidup, yang diperbanyak adalah fakultas kedokteran dengan harapan bisa memperbanyak jumlah dokter. Dengan banyaknya dokter, kesehatan masyarakat bisa diperbaiki. Alhamdulillah, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) beberapa bulan yang lalu berhasil menghentikan pembentukan fakultas kedokteran (FK) baru di kota lain (cari: Moratorium Pendirian FK Baru). Logis memang, jumlah FK di Indonesia yang akreditasinya C masih banyak (40%), ini malah mau bangun FK baru. Padahal jumlah rumah sakit nggak sebanding sama jumlah lulusan mahasiswa kedokteran per tahunnya. Terlebih lagi profesi dokter nggak main-main, berurusan dengan nyawa orang. Ini baru aspek kesehatan. Aspek pendidikan gimana? Gua angkat tangan..

Ada banyak kesalahpahaman di aspek ini. Indikator yang digunakan dulunya adalah angka melek huruf, yang  udah nggak zaman lagi karena buta huruf sudah rendah. Indikator yang digunakan sekarang adalah Harapan Lama Sekolah (HLS), seberapa lama seseorang berharap bisa sekolah. Aaa, kalau dikaitkan sama kahimaku yang dulu, bakal komentar: "Kalian mau ngejalani himpunan pake keyakinan? Dari tadi yang saya denger saya yakin kedepannya bakal begini, saya yakin bakal begitu. Faktanya lho mana?" Itu pertama. Kedua, balik lagi ke kasus kesehatan. Ada yang berpikiran untuk meningkatkan angka HLS, dibangunlah sekolah-sekolah. Mmm, gimana ya. Bingung aku.

Sebenernya, kesalahpahaman fatal di aspek pendidikan itu memahami kata belajar disamakan dengan kata sekolah. Paling kentara adalah wajib belajar. Wajib belajar, ngarahnya kemana hayo? Tentunya mengarah ke wajib sekolah. Aku tak peduli dengan keanehan HLS. Jelasnya, banyak yang menaruh besar harapan bahwa kehidupan seseorang akan lebih baik kalau menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Mm, kesalahpahamannya adalah memaknai tujuan pendidikan yang kecenderungannya supaya bisa mendapatkan kemakmuran lebih lewat pekerjaan yang bagus. Salah paham fatalnya adalah memaknai kata pendidikan dengan pengajaran. Terbukti dengan kurikulum pendidikan yang lebih berat ke nilai pengetahuan dibandingkan dengan nilai sikap. Bukti jelasnya adalah ada pada UN yang dijadikan patokan kelulusan. Asalkan nilai UN nya lulus, nggak peduli anaknya nakal atau nggak, ya lulus sekolah. Terdidik nggak? Emm.. Entahlah, semoga kau bisa mengounter salah paham, minimal nggak salah paham..

Aspek kesejahteraan gimana? Haahaa, makin pusing kalau dijelaskan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar