Kamis, 03 Maret 2016

Penelitian Baru, Baru Judulnya

Bismillah

Bisa dibilang, hari ini hari yang cukup mendebarkan. Di satu sisi aku harus menyelesaikan desain eksisting 3D mushala jurusan, aku juga harus memastikan timku yang akan bergerak ke Kabupaten Tulungagung baik-baik saja. Ada pula menyusun garis besar presentasi ekonomi wilayah. Tak kalah seru, penelitian mengenai pengembangan wilayah. Di mana serunya?



Qaddarullah, sebulan terakhir ini aku membaca buku-buku tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, yang tentunya mengarah ke pesantren. Entah, aku belum menemukan kuttab, karena katanya pernah ada di Kalimantan tahun 60-an. Seringkali kutemukan buku-buku yang Jawa-sentris, berpusat pada kebudayaan Jawa. Memang, tidak bisa dipungkiri Wali Songo ada di Pulau Jawa, tapi bukan berarti memalingkan pandangan kita dari pesantren di luar Jawa. Hasilnya? Aku menemukan buku yang menjelaskan kondisi kepesantrenan di Pulau Sumatera. Sangat unik, terutama yang ada di Palembang dan Padang.

Saat ini, dunia Islam di Indonesia mengalami konflik antara Islam yang mempertahankan budaya Nusantara - Jawa dengan Islam yang global - modern. Sebenarnya kejadian itu sudah ada lama seperti kisah yang masyhur kita dengar, kasus "kyai kafir", sebutan yang sangat tak pantas dilayangkan secara sembarangan kepada sesama Muslim -apalagi kepada tokohnya. Kisahnya bermula dari kedatangan Kyai Ahmad Dahlan dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Beliau membawa ilmu pengetahuan umum seperti geografi, dengan peta dan kompasnya, mengoreksi kiblat masjid-masjid di Jogja yang bukan mengarah ke Mekah, tetapi mengarah ke Afrika (barat). Selain itu, beliau juga menggunakan jas, celana panjang, dan meja belajar mirip orang-orang Eropa. Atribut-atribut itu sangat tabu, dianggap sebagai barang milik orang kafir. Akhirnya, muncullah sebutan kyai kafir dari orang-orang yang belum berpikiran luas.

Something big

Konsep Islam modern yang global ini sebenarnya bukan dari Arab Saudi, melainkan gerakan global dari berbagai negara Muslim, yakni Muhammad Abduh (Mesir), Jamaluddin al Afghani (Afghanistan), dan Rasyid Ridha (Lebanon). Uniknya, di Palembang dan Padang pun terjadi hal yang sama. Pemuda-pemuda dari Sumatera berangkat ke Timur Tengah, belajar ke Mekah dan Kairo, kembali membawa pembaruan, memunculkan pertentangan hingga membentuk kaum muda dan kaum tua. Awalnya memang berseteru, tetapi karena adanya dialog, perseteruan itu menghilang. Bisa dikatakan, pembaruan di Sumatera lebih awal dibanding dengan di Jawa. Sayangnya, konflik Muslim modern yang global saat ini di musuhkan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab dengan Muslim tradisional yang lokal dengan fitnah-fitnah kejam: radikal, wahabi, Arabisme, dan lain sebagainya. Lambat laun, sejarah akan terbuka, karena teknologi semakin menghapus sekat antarnegara.

Eh, balik lagi ke penelitian. Setelah sekitar sebulan menyelami dunia kepesantrenan, akhirnya aku memilih judul penelitian: Pengaruh pesantren agribisnis terhadap pengembangan wilayah. Sangat menarik, terlebih ketika kuasistensikan ke dosen laboratorium wilayah. Kata beliau, "Meneliti pengaruh saja nggak cukup. Mau apa dengan hasil pengaruhnya? Kalau bisa, jadikan konsep, arahan, atau strategi." Allahu Akbar, bisa-bisa makan waktu 2 tahun buat penelitian. Tak masalah sih, akan kuusahakan!

*kembali menyusun kerangka proposal penelitian, dikumpulkan besok!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar