Minggu, 13 Maret 2016

Bahaya Middle Class of Intellectual

Bismillah

Apabila dirangkum, kelas-kelas intelektual terdiri atas kelas bawah, kelas menengah, kelas tinggi. Pembagian kelas ini nggak berdasarkan seberapa tinggi tingkat pendidikannya, soalnya bicara tingkat pendidikan, akan mengarah ke pendidikan formal. Padahal, pendidikan formal itu penuh kedustaan. Hasil bisa bagus, tapi belum tentu prosesnya. Sudah berapa kali kita dengar UN penuh kecurangan? Bahkan SMA kompleks sekalipun, meski cuma sebagian kecilnya aja. Bukan bermaksud menyombongkan, kalau sekelas SMA kompleks pun ada kecurangan, bagaimana dengan di luar SMA kompleks? Itu bicara kedustaan pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Gimana pendidikan formal tingkat tinggi? Entah aku belum mendengar informasi dari kampus lain, tetapi di kampusku, ketika tes tulis tiba, nggak jarang teman-temanku sekelas melakukan kecurangan. Belum lagi ijazah bisa dibeli. Bukan pendidikan formal yang kumaksudkan sebagai kelas intelektual, tapi yang lain. Lalu apa?
Crah agawe bubrah



Aku masih memerlukan rujukan lain buat memetakan kelas intelektual secara pasti. Berbicara intelektual, tentunya disandingkan dengan ilmu. Bagiku, orang-orang memahami ilmu terbagi atas 3 kelas intelektual: rendah, menengah, tinggi. Kelas intelektual rendah adalah orang-orang yang hanya sebatas tahu kesimpulan-kesimpulan ilmu. Kelas intelektual menengah adalah orang-orang yang tahu bagaimana prosesnya. Kelas intelektual tinggi adalah orang-orang yang memahami dibalik ilmu: mengapa harus mempelajari ilmu itu, bagaimana kemunculan ilmu itu, dan sejenisnya. Kalau dimisalkan, intelektual rendah tahu bahwa shalat adalah wajib, lima waktu. Intelektual menengah tahu urut-urutan shalat, mungkin juga perbedaannya (ikhtilaf). Intelektual tinggi tahu bagaimana proses turunnya kewajiban shalat sehingga tahu mengapa harus shalat, bagaimana proses kemunculan perbedaan-perbedaan dalam shalat sehingga tahu mengapa tak perlu mempermasalahkan ikhtilaf, bisa dikatakan juga apabila ada kondisi-kondisi yang tak ada pada masa nabi, mereka yang memiliki intelektual tinggi memiliki jawaban "sebaiknya seperti ini, sebaiknya seperti itu". Lalu, apa bahayanya middle class of intellectual?

Kelas intelektual menengah adalah kelas lebih tinggi dari kelas intelektual rendah, Ketika tahu ada ilmu yang lebih tinggi, mereka akan merasa tercerahkan, merasa berbingar-bingar, terlebih lagi ketika sudah lama sekali merasakan kelas rendah yang hanya tahu kesimpulan-kesimpulan. Akibatnya, akan muncul potensi kesombongan dalam dirinya, terlebih lagi ia adalah pemuda yang puncak-puncaknya semangat belajar, terlebih lagi ketika ia mempelajari secara mandiri. Fenomena ini bisa ditemukan pada orang-orang yang baru tergabung dalam majelis ilmu yang pematerinya berasal dari luar negeri, memahami jauh lebih banyak dari orang-orang pada umumnya. Ketika ia tidak terikat dengan pemateri, bahaya pertama muncul: akan muncul kesombongan, "aku lebih tahu" atau "kalian salah" ke orang lain.

Kelas intelektual menengah adalah mereka yang lebih tahu dibanding kelas intelektual rendah, tapi ilmunya nanggung. Mereka (mungkin juga termasuk saya) belum bisa mengambil kesimpulan dari suatu kondisi yang baru. Mereka menjadi jembatan intelektual kelas rendah dan kelas tinggi. Mereka mulai mengatahui jalan-jalan mana saja untuk mendapatkan ilmu yang lebih. Terlebih lagi di zaman teknologi sekarang. Orang-orang yang sudah punya sedikit jalan akan berjalan semakin cepat meninggalkan orang-orang yang hanya tahu kesimpulan. Muncullah semangat ingin berbagi dari kelas intelektual menengah kepada kelas intelektual rendah. Seharusnya seperti ini, seharusnya seperti itu. Adakalanya mereka menukil perkataan-perkataan dari kelas intelektual tinggi secara sembarangan. Bahkan digabung-gabungkan juga secara serampangan. Fenomena ini bisa dilihat ketika membuka youtube, muncul video-video heboh menonjolkan perbedaan pendapat, membuka kesalahan kelas intelektual rendah secara vulgar, dan hal-hal tak beradab lainnya. Ditambah lagi dengan judul-judul yang menarik perhatian untuk dibuka. Nah, niatnya pun terkadang salah, bercampur dengan "menaikkan rating", bukan untuk mendidik orang lain. Akhirnya muncullah kekacauan di kalangan akar rumput dan.. dimanfaatkan orang-orang yang lebih tak bertanggung jawab lainnya. Lantas solusinya apa?

Entahlah, aku tak begitu tahu apa solusi yang pas buat itu. Ketika muncul potensi diskusi-diskusi sentimental di grup media sosial, kuusahakan sekuat tenaga untuk sebaiknya dibahas secara tatap muka saja. Ah, tapi ponselku sekarang sedang rusak. Tahukah kamu, apa motifku menuliskan tulisan ini?

Persatuan dari hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar