Ada beberapa cerita yang membuat judul tulisan ini menjadi sesuai dengan isinya..
Beberapa pekan yang lalu, aku menyerahkan kepalaku untuk dipangkas di tukang pangkas rambut. Karena sebab perbedaan umur dan seringkali obrolanku agak berbeda, mas-mas yang biasa memangkas rambutku lebih memilih mengobrol dengan pelanggan lain yang lebih tua.
Saat itu obrolan dimulai dari pelanggan. Beliau bercerita mengenai pekerjaannya menjadi seorang tukang. Entah tukang apa, aku tak menanyakan. Pernah suatu ketika beliau berada di rumah orang yang cukup kaya didapati penghuninya sedang bertengkar dengan sesamanya. Beberapa hari kemudian, salah seorang penghuni ditahan kepolisian, dan beliau diundang untuk menjadi saksi atas perkelahian yang terjadi karena berada di tempat saat kejadian sedang berlangsung.
"Ngapain saya ikut pak, saya di sana cuma bekerja, cuma cari nafkah buat makan anak istri saya. Saya nggak ada hubungannya sama kejadian itu, itu urusan mereka. Bapak mau ngasih makan anak istri saya?" Seketika aku ingin menanyakan mengapa bapak itu menolak menjadi saksi, padahal cuma memberikan keterangan. Tak sempat aku bertanya, beliau sudah menjelaskan alasannya. "Saya nggak mau jadi saksi khawatir nanti malah dipenjara. Padahal saya kan nggak ngapa-ngapain. Bener kan?" Hmm, ternyata begitu anggapan beliau mengenai menjadi saksi. Lebih tepatnya, ketika berhadapan dengan polisi karena kalau disimak dari cerita di atas, bapak itu sepertinya tak paham jadi saksi itu seperti apa.
---
Hari Kamis kemarin, aku menuju kantor Dispenduk Kota Surabaya untuk mengurus perubahan di KK. Lokasinya cukup jauh, di Gedung Siola. Kantor Dispenduk baru saja pindah awal Januari ini dari awalnya di belakang kantor Samsat. Ringkasnya, ketika motorku berhenti di lampu lalu lintas, tepatnya di perempatan Jalan Kertajaya - Pucang - Unair, ada bapak-bapak bersama anaknya mendekatiku dengan motornya. "Mas, jalan ??? itu di mana ya?" 20 tahun aku di Surabaya, aku merasa asing dengan alamat itu. Mendengar jawabanku yang tak tahu, pengendara di belakangku ditanya, pun juga tak tahu alamat itu. Kusarankan untuk menanyakan di kantor polisi di depan tepat di perempatan jalan ini, beliau menolak. Aku tak begitu ingat jawabannya, intinya, "Ngapain ke sana, ntar malah ditilang." Hmm, begitu ya. Sebenarnya cara berpikir seperti ini nggak beda jauh sama cara berpikirku 8 tahun yang lalu...
---
Saat itu aku bersama rombongan Artificial Intellegent Robotic - Spensix Robotic Team (AIR - SRT) *jeneng e kedawan* sedang menuju kampus ITS Sukolilo untuk melihat KRCI dan KRI Regional IV *silahkan cari sendiri* Rombongan menggunakan motor dari Spensix melewati Jalan Kertajaya. Berhubung siang-siang, operasi kendaraan roda dua pun harus dilalui. Saat itu aku tak menggunakan helm langsung meminta turun dari motor dan jalan kaki di trotoar seberang operasi. Kata Kak Jojo nggak perlu, tapi aku tetap turun dan menyeberang.
Setelah menyeberang dan melewati operasi, rombongan datang. Teman-temanku meski nggak menggunakan helm, tetap berada di motornya. Aku keherenan, Kak Jojo bilang, "Polisi itu bukan untuk ditakuti. Polisi itu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat." Seketika kalimat itu menancap kuat hingga kini. Meskipun ada beberapa hal yang membuatku kecewa, aku masih mempercayakan banyak hal kepada polisi untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat..
Adalah wajar polisi diceritakan dengan pandangan-pandangan negatif, karena mereka juga harus membasmi kejahatan, mirip dengan cerita-cerita yang ada di berita akhir-akhir ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar