Masakan Padang, siapa yang nggak tau? Masakan dari Sumatera Barat terkenal dengan sambel ijonya (lado ijo) juga rendang yang jadi urutan pertama makanan paling lezat sedunia jare CNN. Sebelum magrib, aku berniat membeli masakan padang untuk dimakan bersama di rumah.
Warung Padang yang kelebihan piring |
Sewaktu di tempat, aku segera memesan dua porsi dengan senyuman. Entah, aku nggak memberikan detil pesananku, cuma lauknya aja. Mas yang menjual pun mengambil dua lembar kertas, kertas coklat dan kertas putih (nggak tau namanya). Aku hanya mengamati seolah terhipnotis sampai nasi ditaruh di atas bungkus, "Mas, lauknya aja." Nasi dikembalikan ke guci ajaib, kertas diletakkan, bungkus plastik diambil. Selanjutnya berjalan seperti biasanya.
Ada yang menarik dari kejadian tadi. Menurutmu apa? Aku melihat penjual mengambil dua lembar kertas untuk tiap bungkus nasi, juga bungkus plastik untuk sayur bersama kuahnya. Aku teringat dengan film The Billionaire, film dari Thailand yang mengisahkan jalan terjal usaha rumput laut siap saji. Bukan jalan terjalnya, tapi bungkusnya. Ya, di film itu dikisahkan direktur 7-11 memberi saran Top untuk mengganti bungkusnya dengan kemasan yang menarik. Tujuannya tak lain adalah untuk memikat pembeli.
Kemasan menarik, tujuannya untuk memikat pembeli. Dalam kata lain, kemasan menarik akan meningkatkan konsumtivitas pembeli. Pada kenyataannya, banyak kita temukan kemasan-kemasan menarik sewaktu memasuki swalayan. Semuanya akan meningkatkan konsumtivitas pembeli. Terkadang, aku sendiri sewaktu memasuki swalayan juga memandang sesuatu yang tak harus kubeli. Alhamdulillah cuma lewat aja. Bahkan, sewaktu aku kecil aku berencana mengumpulkan bungkus rokok karena kemasannya bagus-bagus (sekarang udah nggak minat karena ada gambar-gambar buruk).
Warna-warni kemasan makanan |
... Tarik nafas dulu ...
Kembali lagi ke kemasan. Ketika kemasan dan konsumtivitas digabungkan, apa yang terjadi? Ya, sampah akan makin banyak. Kita sendiri tau lah, berapa banyak produk dalam kemasan yang kita beli, berapa banyak kemasan yang kita buang? Beli makanan dalam kemasan, apa kita makan juga bungkusnya? Dimakan? Beli makanan kaleng, mau diapakan kalengnya? Dikoleksi?
Dulu sewaktu aku masih imut, aku nggak pernah melihat sampah kecuali di tempat sampah. Sekarang, hampir tiap hari ada orang dengan sadisnya membuang sampah sembarangan di depan rumahku, meski cuma satu dua bungkus makanan. Mungkin ada hal yang kuabaikan dari masalah munculnya bungkus di depan rumahku seperti dulu jumlah penduduk belum tinggi, dulu masih banyak pedagang keliling, atau yang lain. Tapi kenyataannya, jumlah sampah semakin banyak karena konsumsi masyarakat semakin banyak. Coba lihat gambar di bawah:
Ape diapakno sampah sakdhukur iku? |
Tadi pagi, aku melihat ada berita yang menandakan kelicikan media. Judulnya FBI VS MILISI BERSENJATA. Licik sekali, setelah kucari di internet wajah-wajah Armed Militia Oregon, wajah mereka terlihat wajah barat. Padahal jelas-jelas membawa senjata, tapi tak disebut teroris. Di negara kita, belum jelas siapa pelakunya sudah diberitakan "pelakunya teroris".
Sebelum berangkat ke masjid kembali, aku teringat dengan pelatihan jurnalistik tingkat dasar yang diadakan di fakultasku. Di sana ditanamkan bahwa pers seharusnya netral. Ya, saat itu aku mengiyakan dan mengutarakan bahwa pers sekarang tak netral. Tetapi setelah kuingat-ingat, memang seharusnya pers tak netral. Entah apa lengkapnya, seingatku sewaktu SMA mengenai pers ‒mata pelajaran PKn‒ bahwa pers mempunyai fungsi kontrol dan pendidikan. Aku tak begitu merasakan pers di Indonesia khususnya menjadi pers yang mendidik. Disiarkan korban yang cengeng sedih, bukan korban yang tegar, disiarkan cara menjadi penyelundup barang terlarang, disiarkan berita-berita kriminal yang menginspirasi kriminalitas baru, disiarkan berita-berita yang masih berupa isu. Aku tak melihat berita-berita yang mendidik masyarakat menjadi jujur, berani mengakui kesalahan, mau berkorban, merawat lingkungan, pemimpin yang adil, masyarakat yang beradab, dll. kecuali sebatas informasi, nggak menginspirasi untuk menjadi orang yang baik secara sebenarnya.
Oya, hubungannya dengan masalah sampah adalah, rela berkorban. Kebanyakan orang hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Ketika aku mengikuti kajian yang ada di dekat rumahku pun begitu. Saat itu sedang membahas akhlak para sahabat yang mendahulukan saudaranya untuk minum di waktu sulit. Salah seorang warga menceletuk, "Kalau kita di dekat minuman ya disikat." sambil tertawa. Mungkin rela berkorban ini tak banyak mengurangi timbulan sampah, tetapi setidaknya akan mengubah tujuan ia membeli sesuatu. Dengan rela berkorban pula, Ia akan memilih yang sesuai untuk saudaranya dibanding untuk dirinya sendiri. Sesimpel itu kah? Penerapannya nggak simpel..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar