Sore tadi, dunia seakan mencekam. Entah apa yang kupikirkan, kubuka jendela kamarku, kulangkahkan kaiku menaiki atap sebagaimana dulu ketika aku SD SMP. Masih segar dalam ingatanku. Aku meraih atap tertinggi, menatap cakrawala, menandang tepian daratan, mengembangkan cita-cita. Tapi kali ini aku tak berniat seperti itu. Aku hanya ingin mendapatkan angin segar untuk membacakan ayat-ayat Al Quran di tempat yang tenang, menenangkan diri yang resah.
Awalnya aku menghadap jalanan. Ah, hingar bingar manusia melintasi jalan tak sedap dilihat. Kualihkan hadapanku membelakangi jalan. Ya, itu lebih baik. Hampir saja aku duduk, terdengar keras di langit, "Astaghfirullah, rabbal baraya, astaghfirullah, minal khataya.."
Astaghfirullah! Di manakah bisa kudapatkan tempat yang tenang!
Tak peduli. Aku tetap duduk dan membuka Al Quranku lalu kubaca dari ayat terakhir yang kubaca. Tak lama kemudian, suara-suara itu berdatangan dari berbagai arah. Dari berbagai menara, sebagiannya terdengar serak-serak basah. Astaghfirullah.. Kukeraskan bacaanku, muncul suara baru. Kukeraskan bacaanku, muncul suara baru. Aku jadi kehilangan kekhusyukanku..
Teringat dengan kata-kata yang pernah terlempar dari lisan wakil presiden di awal masa jabatannya, speaker menara masjid harus ditata. Ya, harus ditata, bahkan lebih dari itu. Orang-orang harus dicerdaskan, apa syiar itu. Coba tengok azan yang ada di Dagestan ini.
Ini azannya terdengar merdu, begitu indah untuk dinikmati. Belum lagi dengan azan yang membuat orang terperangah ketika mendengarnya
Yep, itulah yang terjadi di internasional. Syiar Islam begitu rapi, tak serampangan asal ada speaker, belum lagi yang membunyikan orang yang sudah sepuh, suaranya serak-serak tak jelas, nada yang dibacakan juga tak merdu. Bagaimana mungkin bisa menyentuh hati? Semoga orang-orang mulai berpikir apa yang ia lakukan dan tak terjebak oleh kebiasaan semata.
-Dari pemuda yang sering terrenggut kekhusyukannya di sepertiga malam terakhir-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar