Bismillah
Hari ini hari keempatku kuliah di semester lima. Rasanya agak gimana gitu, setelah libur tiga bulan. Bukan karena liburannya, tapi aku berharap ada yang beda sewaktu masuk kuliah. Memang ada yang beda. Bedanya di hari kedua aku ditunjuk jadi komting mata kuliah Studio. Ya, gimana lagi. Sebenernya bukan ini harapanku. Harapanku, ada hubungannya sama pengalamanku setahun lebih yang lalu. Ceritanya begini..
Tahun lalu, aku masih jadi komting angkatan. Di tahun yang sama, ada serangkaian kegiatan yang bahkan tumpang tindih. Pertama dari RDK 35 penuh cinta *tagline e*, kedua Salam 2014, ketiga Muqim 1. Dari sisi komting, nggak masalah se. Waktu itu temen-temen udah pada pulkam, nggak ada yang perlu diurusi kecuali sedikit. Nah, yang lain ini..
Di RDK 35 penuh cinta, acaranya bener-bener penuh cinta. Memeriahkan Ramadhan di kampus bareng temen-temen yang keagamaannya bagus. Aku bersyukur nggak jadi koor, jadinya bisa support koorku dan lebih bebas mengisi celah yang kosong. Berangkat siang, mabit, pulang pagi. Nyiapkan kobar, nyiapkan sahur menembus dinginnya malam. Mencuci gelas, menata, dan berkreasi bareng-bareng. Bahagia lah.. Tapi, suasana penuh cinta itu berubah jadi penuh pengabdian. Perlahan-lahan, panitia RDK pulkam. Pulkam dan terus pulkam, akhirnya tinggal berdua dari 2013, dan bertahan sampe Id Mubarok..
Ada cerita menarik di RDK. Saat itu aku kebagian acara YMC, Youth Muslim Camp, mengundang pengurus-pengurus LDK. Aku bersyukur kembali karena nggak jadi koor. Ceritanya begini..
"Ini gila, mas." Selarik respon terucap oleh seorang OC RDK yang tak ingin disebut namanya. Malam itu, kami, OC RDK sibuk dengan urusan masing-masing. Menggenggam gagang telepon untuk menanyakan kabar, "Sudah bisa kami terima nama-namanya, mas?", mengevaluasi Kobar, menyiapkan naskah untuk MC shalat teraweh, dan kesibukan lainnya. Ucapan itu bukan tanpa alasan, itu terjadi karena panitia YMC yang bertahan hanya dua orang. Seberapa luas lingkup acaranya? Se-Jawa Timur. Dua orang mengundang pengurus-pengurus LDK se-Jawa Timur, "Ini gila mas!" humas, acara, publikasi, dokumentasi, perlengkapan, keamanan, transportasi, akomodasi, dipegang dua orang, woooh. Memang sih, ada akhawat yang bantu, tapi peserta dari akhawat cuma dikit. Luar biasa!
Nggak lama setelah YMC selesai, aku ditunjuk jadi SC Salam, acara penyambutan maba khususnya maba Muslim. Alhamdulillah, nggak jadi koor lagi, jadinya bisa support. Nggak masalah se, awalnya. Awalnya kami berjalan menyenangkan, rapat dasar mengadakan kegiatan. Di tengah-tengah persiapan, eh lha kok koor kami menghilang, pindah ke kepanitiaan lebih besar. Kami awalnya nggak tau kepindahannya. Semua terasa baik-baik saja. Tapi kok rasanya terlalu santai ya? Bahkan H-7 nggak ada koordinasi. Wah, autopilot jadinya. Bergerak strategis tanpa persetujuan koor. Ujung-ujungnya, aku yang jadi koor. Hadeeh..
Di saat yang hampir sama, pelatihan Muqim 1 muncul. Pelatihan itu untuk angkatanku, dipanitiai oleh angkatan di atasku. Eh, berhubung running progress nya waktu liburan, bisa ditebak. Orang-orang Surabaya dikerahkan buat running. Aku keseret masuk jadi panitia, merangkap sekaligus peserta. Hmm.. Terus, apa harapanku?
Sewaktu aku sibuk di kampus, aku masih ada di kampus Surabaya. Maksudku, aku memang tinggal di Surabaya, sementara temen-temen lamaku menyebar ke segala kampus. Sewaktu liburan, mereka semua berkumpul, reuni kecil, melepas kerinduan pertemanan. Saat itu pula, kepanitiaan di kampus hampir mengalami kekosongan karena banyak panitia yang pulkam. Entah aku yang terlalu sibuk atau gagal menyusun prioritas, aku nggak menghadiri itu semua. Reuni angkatan SD juga angkatan SMA, aku tak hadir.
"Awakmu gak teko yo?" Kalimat pendek itu terdengar kalimat ajaib yang menghentakkanku. Aku terdiam dan tersadar kalo ada yang salah dengan diriku. Aku terlalu tak tega meninggalkan kepanitiaan itu. Sepertinya susah sekali mengatakan kata tidak. Dilematis memang. Dari kejadian itu aku menulis,
Saat libur semester empat tiba, aku mulai mengeluarkan independenitasku *istilah jurnalistik*. Aku silaturahim ke keluarga jauh dengan cara baru. Silaturahim ke teman-teman jauh berangkat dengan kelompok kecil, terasa mbolang karena berangkat Subuh dan ekstra mendadak, dengan persiapan minim. Sikap perceiving ku keluar, beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Alhasil, aku mengalami pengalaman-pengalaman baru dan menginspirasiku untuk benar-benar independen.
Sepulang dari silaturahim itu, pemikiranku "terjebak sistem" kembali muncul. Manusia tak sempat memikirkan apa yang terjadi karena terlanjur terlibat di dalamnya. Hal ini sudah kuaplikasikan ketika setelah pengaderan jurusan selesai. Awalnya aku ingin mengundurkan diri dari pengaderan karena aku tak mau terjebak dalam sistem himpunan yang menguras waktu. Namun, ada kabar bahwa setelah pengaderan selesai, mahasiswa ditawarkan, ikut himpunan atau tidak. Akhirnya, aku tetap melanjutkan pengaderan dan tak mendaftar himpunan setelahnya sehingga terhindar dari terjebak sistem.
Kembali lagi ke "terjebak sistem". Aku mulai kembali memikirkan hal-hal dasar banyak hal. Pemikiran itu semakin menguatkanku untuk melarikan diri dari kesibukan. Eh, lha kok di JMMI aku menjadi ketua panitia Muqim 1. Okelah nggak apa-apa ini sementara, sewaktu liburan aja. Kejadian itu membuatku harus memutar otak, apa yang harus kulakukan untuk keluar dari sistem. Yap, aku sudah menemukannya. Aku akan kembali ke rutinitasku yang lama, rutinitas yang dimaklumi untuk bisa keluar dari sistem. Menuntut ilmu secara resmi, siapa yang mau menolak? Hal ini sudah pernah kuuji coba sewaktu liburan semester 3. Aku mengikuti pembinaan intensif Bahasa Arab. Cukup pendek memang, hanya dua pekan. Namun, tak ada yang berani membongkar jadwalku untuk mengikuti pembinaan itu. Menuntut ilmu secara resmi, bisa menjadi cara keluar dari sistem.
Satu kegiatan telah kuikuti. Meski waktunya pendek, setidaknya bisa menarikku keluar dari sistem. Mendaftar pembinaan wisuda Al Quran di Griya Quran. Ya, waktunya cukup pendek, Oktober selesai. Harapan itu semakin terlihat, aku kembali mencari kesibukan ilmu yang lain.
Liburan selesai, meski tak bisa disebut liburan. Saatnya aku masuk kuliah dengan semangat baru. Beberapa hal harus kupersiapkan sejak awal supaya kuliah tak keteteran. Sistem pencatatan misalnya. Catatanku harus rapi supaya aku sendiri mau membacanya kembali. Kembali ke "terjebak sistem". Hari kedua kuliah, aku merasakan semuanya baik-baik saja. Ketika mata kuliah studio (Praktik Perencanaan Kota), kondisi berubah. Entah mengapa aku terpilih menjadi komting studio, mata kuliah inti dari PWK. Komting ini berbeda dengan komting angkatan, karena punya pengaruh ke nilai kuliah banyak orang. Aku tak bisa mengelak, karena ini bagian dari ilmu bahkan amanah dari banyak orang tua. Kuucap "bismillah", percobaanku melarikan diri dari sistem tak semudah yang kubayangkan..
Sewaktu aku sibuk di kampus, aku masih ada di kampus Surabaya. Maksudku, aku memang tinggal di Surabaya, sementara temen-temen lamaku menyebar ke segala kampus. Sewaktu liburan, mereka semua berkumpul, reuni kecil, melepas kerinduan pertemanan. Saat itu pula, kepanitiaan di kampus hampir mengalami kekosongan karena banyak panitia yang pulkam. Entah aku yang terlalu sibuk atau gagal menyusun prioritas, aku nggak menghadiri itu semua. Reuni angkatan SD juga angkatan SMA, aku tak hadir.
"Awakmu gak teko yo?" Kalimat pendek itu terdengar kalimat ajaib yang menghentakkanku. Aku terdiam dan tersadar kalo ada yang salah dengan diriku. Aku terlalu tak tega meninggalkan kepanitiaan itu. Sepertinya susah sekali mengatakan kata tidak. Dilematis memang. Dari kejadian itu aku menulis,
"Kekurangan SDM memang menjadi masalah berbagai organisasi. Tidak hanya himpunan, organisasi sederhana tingkat kampung tak kalah sepi. Hanya orang tua pensiunan menanti ajal dirinya dan organisasi yang dikelolanya."(Surabaya, 23 Juni 2014)Tak lama dari kejadian itu, aku masuk ke Ma'had UI. Waktuku untuk bertemu dengan masyarakat lokal semakin banyak, bertambah seiring ISFJ ku. Perlahan-lahan, aku menjadi independen kembali. Aku menyadari bahwa kesibukanku selama ini menghapus rutinitasku, menuntut ilmu. Di saat itu pula aku mulai berharap kembali pada diriku sendiri. Aku akan menghentikan kesibukanku di tahun ke tiga, meski temanku merespon "Gak mungkin".
...
Saat libur semester empat tiba, aku mulai mengeluarkan independenitasku *istilah jurnalistik*. Aku silaturahim ke keluarga jauh dengan cara baru. Silaturahim ke teman-teman jauh berangkat dengan kelompok kecil, terasa mbolang karena berangkat Subuh dan ekstra mendadak, dengan persiapan minim. Sikap perceiving ku keluar, beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Alhasil, aku mengalami pengalaman-pengalaman baru dan menginspirasiku untuk benar-benar independen.
Sepulang dari silaturahim itu, pemikiranku "terjebak sistem" kembali muncul. Manusia tak sempat memikirkan apa yang terjadi karena terlanjur terlibat di dalamnya. Hal ini sudah kuaplikasikan ketika setelah pengaderan jurusan selesai. Awalnya aku ingin mengundurkan diri dari pengaderan karena aku tak mau terjebak dalam sistem himpunan yang menguras waktu. Namun, ada kabar bahwa setelah pengaderan selesai, mahasiswa ditawarkan, ikut himpunan atau tidak. Akhirnya, aku tetap melanjutkan pengaderan dan tak mendaftar himpunan setelahnya sehingga terhindar dari terjebak sistem.
Kembali lagi ke "terjebak sistem". Aku mulai kembali memikirkan hal-hal dasar banyak hal. Pemikiran itu semakin menguatkanku untuk melarikan diri dari kesibukan. Eh, lha kok di JMMI aku menjadi ketua panitia Muqim 1. Okelah nggak apa-apa ini sementara, sewaktu liburan aja. Kejadian itu membuatku harus memutar otak, apa yang harus kulakukan untuk keluar dari sistem. Yap, aku sudah menemukannya. Aku akan kembali ke rutinitasku yang lama, rutinitas yang dimaklumi untuk bisa keluar dari sistem. Menuntut ilmu secara resmi, siapa yang mau menolak? Hal ini sudah pernah kuuji coba sewaktu liburan semester 3. Aku mengikuti pembinaan intensif Bahasa Arab. Cukup pendek memang, hanya dua pekan. Namun, tak ada yang berani membongkar jadwalku untuk mengikuti pembinaan itu. Menuntut ilmu secara resmi, bisa menjadi cara keluar dari sistem.
Satu kegiatan telah kuikuti. Meski waktunya pendek, setidaknya bisa menarikku keluar dari sistem. Mendaftar pembinaan wisuda Al Quran di Griya Quran. Ya, waktunya cukup pendek, Oktober selesai. Harapan itu semakin terlihat, aku kembali mencari kesibukan ilmu yang lain.
Liburan selesai, meski tak bisa disebut liburan. Saatnya aku masuk kuliah dengan semangat baru. Beberapa hal harus kupersiapkan sejak awal supaya kuliah tak keteteran. Sistem pencatatan misalnya. Catatanku harus rapi supaya aku sendiri mau membacanya kembali. Kembali ke "terjebak sistem". Hari kedua kuliah, aku merasakan semuanya baik-baik saja. Ketika mata kuliah studio (Praktik Perencanaan Kota), kondisi berubah. Entah mengapa aku terpilih menjadi komting studio, mata kuliah inti dari PWK. Komting ini berbeda dengan komting angkatan, karena punya pengaruh ke nilai kuliah banyak orang. Aku tak bisa mengelak, karena ini bagian dari ilmu bahkan amanah dari banyak orang tua. Kuucap "bismillah", percobaanku melarikan diri dari sistem tak semudah yang kubayangkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar