Jumat, 07 Agustus 2015

Rapat RT

Bismillah

Kemarin malam, ada rapat RT di balai RT. Karena bulan ini bulan Agustus, bisa ditebak apa bahasannya. Orang tuaku tak bisa menghadiri rapat itu karena ada agenda lain. Aku datang ke rapat itu mewakili orang tuaku.

Aku berangkat dari rumah kira-kira pk. 19.30. Jadwalnya sih 19.00, tapi seusai shalat isya aku lewat balai RT, karpet sudah digelar, lampu sudah dinyalakan, tapi tak ada orang. Ketika aku datang ke balai RT pun juga masih sepi. Mungkin mereka masih khusyuk shalat sunnah, semoga saja.

Balai RT, ilustrasi doang
Kira-kira setengah jam kemudian rapat dimulai. Kami duduk melingkar dengan makanan ringan di hadapan kami. Aku amati wajah-wajah peserta rapat, banyak orang baru. Daerahku memang daerah berkembang, banyak rumah baru terbangun. Wajar saja wajah-wajah baru muncul. Yang menjadi tak wajar adalah mereka sudah akrab dengan warga asli. Mereka yang adaptif atau aku yang tak pernah interaksi dengan mereka?

Benar saja. Setelah pemberitahuan laporan triwulan keuangan RT, pembicaraan mulai membahas acara tujuh belasan. Mas Deny, selaku wakil kartar menceritakan acara tujuh belasan tahun lalu. Warga yang lain mulai menanggapi. Ada yang menawarkan sarana olahraga, request lomba, usulan pembentukan panitia kecil, dll.

Setelah, pembahasan mengenai tujuh belasan, ternyata tebakanku kurang tepat, masih ada bahasan lain. Masalah keamanan, seputar kebersihan, juga persampahan. Tak jarang di antara pembahasan itu nyambung ke pembahasan tujuh belasan dan anggaran keuangan.

Hal unik yang kudapati dari rapat itu adalah, masing-masing warga memiliki latar yang berbeda. Ada yang pengusaha, pegawai bank, mmm, aku tak begitu tahu sih. Banyak orang baru di sana. Aku menyimpulkan latar mereka berbeda dari wajah-wajah mereka. Wajah-wajah mereka terbentuk sesuai dengan apa yang mereka makan sehari-hari plus gaya hidup mereka. *pengamatan SMA* Bukan itu yang jadi uniknya. Uniknya adalah pendapat yang mereka keluarkan mereka usahakan agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Penggunaan bahasa ceplas-ceplos Surabaya pun isi pembicaraannya seputar kesantunan pemungut iuran denda. Wew.

Memang, secara bahasan tidak sedalam rapat-rapat di kampus dengan rujukan pendapat. Mereka mengajukan pendapatnya secara spontan, melihat kenyataan yang ada. Usulan mereka juga kongkrit. Bukan itu poinnya. Poinnya adalah, jika kubandingkan dengan diskusi-diskusi yang ada di kampus juga di dunia maya, keinginan menahan diri dari menyinggung perasaan orang lain itu sangat sedikit. Jauh sekali. Hmm, inikah watak luhur orang-orang timur yang dibicarakan orang luar?

Bisa dibilang, adab memang sedikit bahkan telah hilang dari generasi muda, gara-gara sistem pendidikan yang luput dari memikirkan aspek itu dan media massa yang menyuburkan itu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar